Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Senin, 03 Oktober 2011

SASTRA "LAWAS"


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari

Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang

Keseluruhan kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, kebudayaan diteruskan dari waktu ke waktu.
Hal itu berarti, dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai yang menjadi panutan pendukung kebudayaan itu. Nilai-nilai kebudayaan ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini, kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup  yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya (Suriasumantri, 1981:26). Nilai-nilai tersebut terkait dengan fungsinya sebagai sarana mempertebal perasaan solidaritas kolektif (Manca, 1984). Dengan demikian, nilai-nilai budaya mencerminkan identitas etnik pendukung budaya tersebut.
Salah satu kebudayaan yang sarat akan nilai pendidikan adalah sastra lisan lawas yang terdapat di etnik Samawa, Kabupaten Sumbawa. Sastra lisan lawas adalah puisi lisan yang menjadi media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat Sumbawa. Sastra lawas merupakan karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak jaman dahulu. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai budi pekerti yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Kesusasteraan lawas menekankan norma perilaku seperti kesetiaan kepada raja, kealiman anak, hormat kepada guru atau yang lebih tua, persahabatan yang tulus, dan kesucian wanita.
            Sastra lisan yang disebut-sebut sebagai pilar sastra Samawa ini, sejak awal perkembangannya mendapat pengaruh “elom ugi” atau syair bugis. Sastra jenis ini hidup dan berkembang dengan subur dalam masyarakat selama berabad-abad lamanya.
            Ada macam-macam jenis lawas berdasarkan kelompok umur. Pertama adalah lawas tau ode (anak-anak) yang mengedepankan dunia anak-anak. Kedua adalah lawas muda-mudi yang mengisahkan tentang jalinan kasih muda-mudi. Ketiga adalah lawas tau loka yang berisi tentang petuah-petuah orang tua kepada muda-mudi.
            Dalam membawakan lawas ini, paling sedikit ada delapan cara, yaitu belawas (menembangkan lawas secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai), sakeco (menembangkan lawas dengan memukul rebana), bagandang, saketa, ngumang, langko, badede, dan basual.
Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Sebab, dalam sastra lisan lawas terdapat nilai-nilai budi pekerti yang luhur dan turun-temurun. Seperti nilai budi pekerti yang terdapat pada lawas tau ode (anak-anak). Lawas ini mengedepankan tentang dunia anak-anak yang penuh kocak dan ceria. Anak-anak menjadi lebih kreatif dalam membawakan lawas tau ode, sebab mereka menggunakan kata-kata untuk berbalas pantun kepada teman-temannya.
Sedangkan dalam lawas muda-mudi tersirat tentang perkenalan, percintaan, perkasih-kasihan, dan perpisahan beriba hati. Jika pasangan muda-mudi masih saling memendam perasaan, maka mereka akan belawas. Jika mereka sedang menjalin kasih, maka meraka akan belawas dengan romantisnya. Begitu pula jika mereka akan berpisah, maka lawas yang dinyanyikan akan menjadi sedih dan haru. Pasangan muda-mudi ini menjalin kasih dengan belawas. Tidak bercumbu dengan mesra seperti dewasa sekarang ini. Dengan lawas mereka akan saling melempar lawas, merangkai kata-kata dan kalimat yang indah untuk pasangan mereka. Di sinilah kehebatan lawas dalam pasangan remaja.
Lawas tau loka sendiri berisi tentang pelajaran dan agama. Lawas ini sarat akan nasehat atau petuah yang baik untuk anak-anak muda. Lawas ini biasanya hanya dinyanyikan oleh orang tua kepada anaknya. Dari dua lawas di atas, lawas inilah yang sarat akan nilai budi pekerti. Sebab, lawas ini berisi tentang budi pekerti yang harus dilakukan anak terhadap orang yang lebih tua.
Nilai-nilai yang telah dipaparkan di atas merupakan hal-hal yang dapat dijadikan sebagai jati diri dalam generasi muda ini. Sebab, nilai-nilai tersebut mengandung budaya Indonesia yang luhur. Selain itu, juga tersirat tindak tanduk atau sopan santun dalam bergaul kepada anak kecil, teman sebaya, dan orang yang lebih tua.
Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan sastra lawas yang semakin terlupakan, bahkan tidak diketahui oleh generasi muda di era modern dewasa ini. Dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Selain itu, juga diharapkan agar generasi muda mampu meresapi nilai budi pekerti yang dapat dijadikan sebagai jati diri mereka dalam sastra lawas.
          

Kondisi Kekinian Apresiasi Generasi Muda Terhadap Sastra Lawas
            Di jaman globalisasi yang pesat ini, budaya barat dengan mudah mengalir atau masuk pada budaya lain. Sama halnya yang terjadi pada Indonesia. Budaya barat yang cenderung pada pop, dengan cepat merajai selera muda-mudi. Mereka dengan cepat menggandrungi budaya pop yang disebarkan melalui banyak media melalui majalah, televisi, pertunjukan musik, bioskop, dan internet. Seperti contoh, maraknya acara musik yang tayang di televisi dengan jam tayang yang berlebihan hingga 3 jam. Selain itu, munculnya kelompok punk dengan pakaian punk yang berasal dari luar negeri. Juga akses internet yang ditawarkan dengan mudah dan murah, sehingga masyarakat, terutama anak-anak, mampu mengaksesnya dengan bebas.
            Semakin pesatnya budaya pop yang berkembang, semakin menjauh pula generasi muda pada budaya asli mereka sendiri. Sebab, akibat dari budaya pop itu, mereka jadi lebih mengenal budaya luar itu. Mereka lebih menikmati dan mengkonsumsi budaya pop itu sendiri. Budaya pop yang mereka konsumsi setiap hari menjadi menempel dalam jiwa mereka. Sedangkan, mereka menjadi tidak mengerti tentang budaya aslinya.
            Lebihnya lagi, budaya pop yang mereka gandrungi tidak mencerminkan nilai budi pekerti. Budaya pop yang mereka konsumsi sama sekali tidak memiliki nilai pendidikan. Hal ini mengakibatkan generasi muda menjadi tidak mengenal nilai budi pekerti kembali. Mereka meninggalkan budaya asli mereka yang sarat akan nilai sopan santun yang seharusnya menjadi identitas atau jati diri mereka. Kosongnya nilai budi pekerti dalam diri mereka mengakibatkan pada peristiwa-peristiwa yang malah memutus perasaan solidaritas kolektif itu. Ditambah dengan jaman demokrasi pada saat ini, ada gaya hidup bebas dan demokratis berlebihan dalam berpendapat. Seperti peristiwa perkelahian dalam pertunjukan musik yang disebabkan hal sepele, yaitu tidak sengaja menyenggol temannya ketika ia sedang berjoged. Juga seperti munculnya genk-genk yang memiliki prinsip sendiri. Hal seperti terjadi karena mereka tidak mendapatkan nilai sopan santun dari budaya pop yang mereka gandrungi.
            Semua paparan di atas mencerminkan bahwa jati diri atau identitas asli generasi muda saat ini sangat lemah. Mereka sudah tidak mengerti atau buta akan  kebudayaan asli yang mereka miliki. Padahal, jati diri mereka itu ada dalam budaya tradisonal, budaya asli mereka. Salah satunya adalah sastra lawas yang sarat akan nilai budi pekerti, sosial, dan sopan santunnya.

Solusi yang telah Digunakan dalam Penyebarluasan Nilai Budi Pekerti pada Sastra Lawas
            Sastra lawas masih digunakan pada acara-acara seperti pernikahan, karapan kerbau, dan khitanan di Sumbawa. Namun, lawas ini jarang untuk dinyanyikan. Sebab, sastra lawas semakin lama semakin tergeser oleh budaya pop yang telah mengglobalisasi. Seperti adanya band dalam pernikahan maupun khitanan membuktikan bahwa sastra lawas menjadi tergeser posisinya sebagai tradisi di Sumbawa.
Selain itu, sastra lawas juga dipentaskan bersama-sama dengan hiburan modern. Misalnya pentas seni di sekolah-sekolah Sumbawa. Selain menampilkan pertunjukan band dan dance, juga menampilkan budaya tradisional sastra lawas. Namun, cara ini belum berhasil. Sebab, nilai-nilai budi pekertinya belum mampu disampaikan secara sempurna kepada siswa siswi di sekolah. Mereka, baik sebagai pelaku belawas juga pendengarnya, masih belum paham tentang nilai budi pekerti yang ada dalam sastra lawas. Sebab, mereka tidak berminat terhadap sastra lawas. Ketertarikan untuk lebih mempelajari sastra lawas masih belum muncul dalam benak mereka masing-masing. Karena itulah mereka menjadi tidak tahu dan kurang mengerti terhadap budaya asli sendiri.
Sastra lawas juga telah diselipkan dalam album lagu-lagu Sumbawa. Walaupun mereka menikmatinya, tapi nilai budi pekertinya masih belum bisa ditangkap sepenuhnya. Sebab, mereka masih belum mengerti nilai budi pekerti dari sastra lawas itu sendiri. Generasi muda pada saat ini hanya sekadar tahu bahwa sastra lawas adalah kebudayaan mereka. Belum mempelajarinya secara dalam.

Pihak-pihak yang dapat Membantu Penyebarluasan Nilai Budi Pekerti dalam Sastra Lawas
            Dalam proses penyebarluasan sastra lawas, sangat diperlukan pula peran dari beberapa pihak. Pihak-pihak itu adalah orang-orang yang mengerti dan peduli tentang budaya lawas. Pihak-pihak seperti ini sangat diperlukan agar penyebarluasan sastra lawas lebih mudah untuk diterima. Pihak-pihak itu adalah:
            1. Tokoh masyarakat pendukung sastra lawas dan
            2. Budayawan sastra lawas Sumbawa
            Mereka diharapkan dapat membantu dengan cara mendokumentasikan sastra lawas ke dalam bentuk, buku, atau sebagainya. Selain itu, mereka juga diharapkan untuk menerangkan nilai-nilai budi pekerti yang ada pada sastra lawas. Kemudian, mereka menyebarkannya pada teman-temannya dan melalui internet. Dengan sosok mereka yang sudah dikenal dalam masyarakat umum, maka besar kemungkinan penyebarluasannya dapat lebih lancar dan mudah.

Langkah-langkah Strategis dalam Penyebarluasan Nilai Budi Pekerti pada Sastra Lawas
            Untuk menyebarluaskan tentang nilai budi pekertinya, diharuskan dahulu untuk mengerti arti dari sastra lawas itu sendiri. Jika tidak mengerti apa maksud dari sastra lawas itu, maka penyebarluasannya itu akan percuma. Oleh karena itu, hal pertama yang akan dilakukan adalah pengumpulan berbagai jenis sastra lawas. Berikut adalah contoh-contoh sastra lawas beserta dengan teks bahasa Indonesianya dan nilai budi pekertinya.
            1. Lawas tau ode (lawas anak-anak)
Ma tunung adi ma tunung
Meleng tunung kubeang me
Jangan jadi kembo karong
(Tidurlah adikku, tidurlah
Bangun tidur akan kuberi makan nasi
Dengan lauk susu kerbau yang sehat)

            Lawas ini mengisahkan tentang seorang kakak yang begitu sayang kepada adiknya. Hal ini terlihat pada kalimat “Bangun tidur akan kuberi makan nasi dengan lauk susu kerbau yang sehat”. Selain itu, lawas ini juga memiliki nilai budi pekerti tentang seorang kakak yang sayang dan tanggung jawab kepada adiknya. Selalu menjaga adiknya, mengasihinya.

2. Lawas taruna-dadara (muda-mudi)
Ajan sumpama kulalo
Kutarepa bale andi
Beleng ke rua e nanta
(Seandainya aku bertandang
Mampir di rumah adinda
Adakah gerangan belas kasihan?)

Lawas ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang menaruh hati kepada seorang wanita dan ingin bertandang ke rumahnya. Dalam lawas muda-mudi ini memiliki nilai budi pekerti kesopanan seorang lelaki yang ingin bertandang ke rumahnya. Bila pada budaya pop, lelaki meminta untuk bertandang ke rumah wanita dengan rayuan-rayuan gombal yang tidak penuh dengan keromantisan dan kesopanan. Jika dalam lawas, yang dinyanyikan dengan langsung, mencoba untuk membuka hati wanita dengan kata-kata yang halus. Jelas terlihat tentang sopan santun, kasih sayang tulus, dan lemah lembutnya sepasang kekasih yang sedang berbalas lawas.

3. Lawas tau loka (lawas orang tua)
Betapa manisnya cetusan sukma
Agama landasan utama
Jangan diikuti jika bertentangan
(Siapa ingin mati nikmat
Kerjakan sembahyang dengan teratur
Agar roh tenang menghadap-Nya)

Lawas ini berisi petuah tentang agama, bahwa manusia dalam kehidupannya diwajibkan untuk tidak meninggalkan ibadahnya. Petuah lawas orang tua ini sarat tentang pendidikan agama pada Tuhan. Melalui lawas, kita dapat mengerti bahwa agama dalam kehidupan dijadikan sebagai pedoman dunia akhirat, dan dalam kehidupan kita diberi pemahaman bahwa betapa pentingnya melaksanakan ajaran agama.  Lawas orang tua ini adalah lawas yang perlu dilestarikan dalam kehidupan genarasi muda jaman sekarang. Sebab, tindak-tanduk atau sopan santun mereka sekarang ini sepertinya sudah tidak ada lagi. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua mereka sepertinya masih belum diperhatikan seluruhnya. Maka dari itu, perlu ada kekreatifitasan dalam menyampaikan sebuah nasihat. Dengan sastra lawas ini, orang tua dapat melakukan belawas dan melestarikannya dengan memberika petuah tersebut pada anaknya.
Tiga lawas di atas adalah beberapa contoh sastra lawas yang sarat akan nilai budi pekerti yang dapat dikumpulkan untuk disebarluaskan pada generasi muda.
Setelah mengumpulkan berbagai macam jenis lawas, langkah selanjutnya adalah pengumpulan gambar-gambar atau video yang menampilkan balawas. Seperti pada video acara pernikahan, karapan kerbau, atau acara khitanan di Sumbawa yang tradisi acaranya menggunakan sastra lawas. Pengumpulan gambar dan video ini dilakukan agar terdapat bukti konkritnya yang akan disebarluaskan. Dengan melihat videonya, maka generasi muda akan lebih mengerti tentang lawas. Sehingga, generasi muda mengerti tentang lawas tidak hanya dari teorinya saja, tetapi juga bentuk belawas itu sendiri.
Setelah pengumpulan gambar dan videonya, maka tahap terakhir adalah menyebarluaskannya melalui media internet. Media internet ini dipilih karena internet adalah media yang selalu diakses sepanjang waktu oleh generasi muda. Dengan kemajuan tekhnologi seperti dewasa sekarang ini, maka internet dengan mudah didapat dan diakses kapan saja dan di mana saja. Oleh karena itu, penyebarluasan sastra lawas melalui media internet sangatlah efektif, sebab sasarannya bisa langsung pada generasi muda itu.
Untuk membuat generasi muda bisa mengakses sastra lawas, maka sastra lawas itu akan diletakkan pada situs-situs yang selalu diakses mereka. Situs itu adalah facebook dan you tube. Facebook adalah sebuah situs jejaring sosial yang diakses generasi muda dalam setiap waktu dan di mana saja. Lewat facebook, terdapat fasilitas untuk meletakkan catatan, gambar, dan video yang kita inginkan. Maka dari itu, contoh-contoh sastra lawas yang telah ditemukan akan diletakkan di facebook. Kemudian, di bawah contoh sastra lawas tersebut diberi penjelasan tentang apa sastra lawas itu sendiri, apa saja bentuk dari lawas itu, dan nilai-nilai budi pekerti yang terkandung dalam contoh sastra lawas yang diletakkan. Setelah itu, dalam facebook diperbolehkan untuk memberi tag pada teman-teman. Dengan memberi tag, maka teman-teman itu secara langsung bisa mengakses dan melihat contoh-contoh lawas itu seperti apa. Selain itu, nilai-nilai budi pekerti secara langsung terbaca dan tersampaikan oleh teman-teman itu.
Setelah meletakkan contoh-contoh sastra lawas, langkah selanjutnya adalah meletakkan gambar dan video dari belawas. Gambar dan video dari belawas itu di tag kembali pada teman-teman. Dengan begini, maka teman-teman yang notabenenya generasi muda dengan cepat mengetahui sastra lisan lawas.
Selain facebook, situs lain yang dapat digunakan sebagai media penyebarluasan sastra lawas adalah situs you tube. You tube adalah situs video yang dapat dilihat dan didownload dengan gratis oleh pengguna internet. Situs ini adalah situs yang diakses generasi muda setiap hari. Sebab, dengan you tube mereka dapat mendapatkan dan melihat video yang mereka inginkan. Melalui you tube, contoh gambar dan video sastra lawas akan diletakkan. Namun sebelumnya, dalam video tersebut harus diberikan narasi atau teks tentang nilai budi pekerti yang hendak disampaikan. Sebab, nilai budi pekerti itulah hal utama yang harus disebarluaskan kepada generasi muda. Setelah diletakkan, maka gambar dan video tersebut akan muncul di halaman pertama situs you tube. Masyarakat khususnya generasi muda yang membuka situs ini, akan mencoba untuk melihat sastra lawas tersebut. Dengan demikian, sastra lawas akan lebih mudah untuk dikenal dan dimengerti oleh generasi muda itu sendiri. Selain itu, nilai budi pekertinya juga dengan mudah dapat disampaikan kepada generasi muda yang mengakses dua situs tersebut.

Simpulan
            Sastra lawas adalah sastra lisan yang berbentuk pantun dan puisi. Sastra lawas ini mengandung nilai budi pekerti yang tinggi. Nilai budi pekerti tersebut mencakup kasih sayang kepada saudara, teman sebaya, dan orang tua. Selain itu juga mencakup tanggung jawab seorang saudara, petuah-petuah, dan nasihat dari orang tua kepada anaknya. Nilai-nilai budi pekerti seperti itu sangatlah perlu untuk dilestarikan pada generasi muda sekarang ini. Sebab, nilai budi pekerti yang seharusnya menjadi identitas atau jati diri bagi generasi muda ini sudah tidak terdapat pada jiwa mereka. Untuk itu, sastra lawas perlu disebarluaskan pada generasi muda agar mereka mengerti tentang pendidikan nilai budi pekerti yang tersirat di sastra lawas.
            Penyebarluasan sastra lawas ini melalui media internet. Media internet adalah media yang sangat efektif untuk menyebarluaskan sastra lawas pada generasi muda. Sebab, generasi muda dewasa ini selalu mengakses internet di mana pun dan kapan pun. Sastra lawas ini akan dikenalkan melalui situs internet yang bernama facebook dan you tube. Dua situs itu adalah situs yang selalu diakses oleh generasi muda. Dengan meletakkan contoh sastra lawas, gambar, dan video belawas itu, maka generasi muda akan mudah dan langsung mengakses sastra lawas itu sendiri.           
Oleh karena itu, dengan dimuatnya sastra lawas di internet, seperti situs facebook dan you tube, maka generasi muda dapat lebih mengenal sastra lawas yang meliputi:
            a. Bentuk-bentuk sastra lawas dan
            b. Nilai-nilai budi pekerti yang bermanfaat bagi pendidikan karakter yang
                terdapat dalam sastra lawas.
            Sehingga, jati diri pada generasi muda akan menjadi lebih kokoh. Mereka juga tidak akan terasing lagi oleh budaya mereka sendiri. Selain itu, mereka juga secara tidak langsung terdidik nilai budi pekertinya melalui sastra lawas. 

JALANMU JALANKU

JALANMU JALANKU
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari



Sebenarnya aku tidak tahu apa yang kau inginkan
Aku berusaha merangkak di jalanku
Kau menarik tanganku untuk berputar di jalanmu
Aku, yang menyayangimu laksana itik dan anaknya
Aku, membungkukkan badanku
Kemudian terseret olehmu
Di fatamorgana ini aku menyentuh bintang
Namun tak kusangka bintang itu adalah bintangmu
Bintang yang ingin sekali tak kusentuh
Ke manakah sekarang aku?
Ke jalanmu?
Atau jalanku?

2011

TUYUL DALAM SEKOLAHKU

TUYUL DALAM SEKOLAHKU
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari



Ini kisah nyata
Bahwa tuyul adalah kepala sekolahku
Anak tuyul adalah guru-guruku
Sawahku telah dibabat habis oleh mereka menjadi nasinya
Mereka sibuk makan, aku sibuk belajar
Kumakan semua buku agar pintar, namun tak kunjung masuk ke dalam perutku
Masuk tak bisa, keluarpun tak tahu
Adik-adikku
Lebih lagi kasihan
5 angka yang mereka miliki dengan mudah hilang ditiup oleh anak-anak tuyul
Ajaibnya, 10 angka dapat dikeluarkan kembali dari hidungnya
Dan girangnya adik-adikku, juga muram
Wajahnya takut melihat gedung masa depan di depannya
Keluarga tuyul pun riang gembira
Malam tidur di kasur dan pagi membuang nilai pendidikan
Bahwa ini kisah nyata, memang ada benarnya
Bahwa kisah ini tak pernah tersentuh, memang ada benarnya
Bahwa kisah ini takkan tergendong, aku tak tahu jawabannya

2011

WAJAHKU DENGAN MAUMU

WAJAHKU DENGAN MAUMU

Oleh: Silka Yuanti Draditaswari


Aku menatap wajahku
Kemudian ku bertanya
Wajah siapakah ini?
Dua mata dengan kesenduan
Satu bibir dengan kerancuan
Satu hidung dengan ketidak sempurnaan
Jidatku juga tak selebar ikan hias yang ku tahu di pinggir jalan
Pipiku tidak merah merona seperti kartun cantik
Aku, bukan gadis sempurna
Jangan kau pandang aku lagi
Karna aku muak dengan pandanganmu
Ketika kau mengharapkan yang lebih padaku
Aku berharap bisa memuaskanmu
Namun kau berkehendak lain
Hingga kemuakanku tenggelam bersama rayuanmu
Yang tak pernah kau alihkan dariku

2011

PROBLEMATIKA PENENTUAN BENTUK DASAR PADA REDUPLIKA BAHASA INDONESIA


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang



Manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi atau berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi itu menggunakan berbagai bentuk kata yang digunakan sehari-hari. Salah satu bentuk kata ulang tersebut adalah kata ulang. Kata ulang dalam ilmu linguistik bahasa Indonesia dikenal juga dengan nama reduplikasi.
Kata ulang atau reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan,1985:57).
Contoh kata ulang tersebut seperti kursi-kursi yang memiliki bentuk dasar kursi, perumahan-perumahan yang berasal dari bentuk dasar perumahan, dan berjalan-jalan yang memiliki bentuk dasar jalan yang disertai afiks ber-. Namun, terdapat satu jenis kata ulang yang mengalami problematika dalam menentukan bentuk dasarnya. Jenis kata ulang itu adalah kata dwilingga salin swara. Contoh dari kata ulang ini adalah bolak-balik. Dalam kata ulang bolak-balik sukar menentukan kata mana yang merupakan bentuk dasarnya. Begitu pula dengan kata ulang gerak-gerik, mondar-mondir, dan sebagainya.
Oleh karna itu, makalah ini akan membahas problematika reduplikasi pada jenis kata ulang dwilingga salin swara. Bagaimana cara menentukan bentuk dasar kata ulang dwilingga salin swara dan bagaimana proses pembentukan kata ulang dwilingga salin swara.
Permasalahannya adalah:
1. Bagaimana proses pembentukan kata ulang dwilingga salin swara?
2. Bagaimana cara menentukan bentuk dasar pada jenis kata ulang dwilingga salin swara?
3. Apakah semua bentuk kata yang menyerupai reduplikasi dapat digolongkan ke dalam bentuk reduplikasi?
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka  tujuan dari artikel ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses pembentukan kata ulang dwilingga salin swara.
2. Untuk mengetahui cara menentukan bentuk dasar pada jenis kata ulang dwilingga salin swara.
3. Untuk mengetahui bentuk kata reduplikasi mana yang dapat digolongkan ke dalam bentuk reduplikasi.

Reduplikasi
Sebelum membahas permasalahan jenis kata ulang dwilingga salin swara, berikut akan dijelaskan pengertian dengan ciri-ciri kata ulang menurut beberapa pakar.
a. Chaer (1994:182) menuliskan bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi.
b. Muslich (2009:48) berpendapat bahwa proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak.
c. Gorys Keraf (1991:149) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagai atau seluruh bentuk dasar sebuah kata.
Berdasarkan beberapa pengertian dari pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatik dengan cara menggabungkan morfem ulang atau morfem {R} dengan bentuk dasar sehingga membentuk kata baru yang disebut kata ulang atau reduplikasi.
Reduplikasi memiliki ciri umum dan ciri khusus. Ciri umum dari reduplikasi menurut Sumadi (2010:118) adalah:
1. Polimorfermis atau terdiri atas lebih dari satu morfem dan
2. Memiliki makna gramatikal atau makna gramatis yang timbul akibat proses morfologis.
Sedangkan ciri-ciri dari reduplikasi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mempunyai bentuk dasar dan bentuk dasar itu ada dalam kenyataan berbahasa
2. Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasarnya
3. Kelas kata ulang sama dengan kelas kata bentuk dasarnya.
Dalam buku Morfologi Bahasa Indonesia (2010, 124—127) Sumadi menjelaskan bahwa terdapat dua jenis kata ulang, yaitu kata ulang sesungguhnya atau kata ulang asli dan kata ulang semu atau ulang tidak asli. Kata ulang sesungguhnya adalah kata ulang yang memiliki semua ciri khusus kata ulang. Contoh kata ulang sesungguhnya adalah kursi-kursi, mobil-mobilan, orang-orangan, melambai-lambai, bolak-balik, panas-panas, gendut-gendut, tiga-tiga, dan sebagainya.
Kata ulang sesungguhnya ini dibagi lagi menjadi empat jenis, yaitu (1) kata ulang utuh, (2) kata ulang sebagian, (3) kata ulang berimbuhan, dan (4) kata ulang berubah bunyi. Kata ulang utuh adalah kata ulang yang merupakan pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan, tanpa terkombinasi dengan pembubuhan afiks dan tanpa perubahan fonem (Muslich, 2009:52). Contohnya seperti
 buku-bukuàbuku + {R}
 orang-orangàorang + {R}
 pejabat-pejabatàpejabat + {R}
Menurut Sumadi (2010:125) kata ulang sebagian adalah kata ulang yang proses pembentukannya dengan cara mengulang sebagian bentuk dasarnya. Contohnya seperti
 bermain-mainàbermain + {R}
 dorong-mendorongàmendorong + {R}
 pukul-memukulàmemukul + {R}
Kata u         lang berimbuhan adalah kata ulang yang proses pembentukannya dilakukan dengan mengulang bentuk dasarnya dan diikuti dengan proses pengimbuhan. Contohnya seperti berikut
 kuda-kudaanàkuda + {R}
 rumah-rumahanàrumah + {R}
 mobil-mobilanàmobil + {R}
Kata ulang berubah bunyi dikenal juga dengan kata ulang dwilingga salin swara. Kata ulang berubah bunyi adalah kata ulang yang proses pembentukannya dilakukan dengan mengulang secara utuh bentuk dasarnya, namun disertai perubahan. Contohnya sebagai berikut
 gerak-gerikàgerak + {R}
 bolak-balikàbalik + {R}
 lauk-paukàlauk + {R}
 sayur-mayuràsayur + {R}

Menentukan Bentuk Dasar dari Kata Ulang Dwilingga Salin Swara
Ramlan (1985:59—61) menuliskan dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar bagi kata ulang. Dua petunjuk tersebut adalah:
1. Pengulangan pada umumnya tidak mengubah golongan kata dan
2. bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.
Petunjuk dari Ramlan di atas telah jelas dikatakan bahwa bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Untuk menentukan bentuk dasar suatu kata ulang dwilingga salin swara maka harus mencari dulu kata mana yang menjadi kata umum dalam komunikasi atau percakapan sehari-hari bahasa Indonesia. Setelah ditemukan, maka kata yang ditemukan itu adalah bentuk dasarnya.
Untuk lebih jelasnya akan diterangkan pada contoh kata ulang gerak-gerik. Pada kata ulang gerak-gerik, bentuk dasarnya adalah gerak, bukan gerik. Hal ini disebabkan dalam komunikasi sehari-hari tidak ditemukan bentuk gerik berdiri sendiri. Begitu pula dengan kata ulang bolak-balik. Dalam komunikasi sehari-hari tidak ditemukan kata bolak yang berdiri sendiri. Yang dikenal selama ini adalah bergerak dan gerakan. Sedangkan bergerik dan gerikan tidak pernah dikenal atau umum dalam Bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan kata ulang lauk-pauk dan sayur-mayur? Cara menentukan bentuk dasar dari kata ulang lauk-pauk dan sayur-mayur sama dengan contoh kata ulang gerak-gerik. Bentuk dasar dari kata ulang lauk-pauk adalah lauk. Sedangkan bentuk dasar dari kata sayur-mayur adalah sayur. Dalam percakapan atau komunikasi bahasa Indonesia sehari-hari, tidak dikenal kata pauk maupun mayur. Oleh karna itu, kata yang kurang dikenal seperti itu bukanlah bentuk dasar.

Bentuk-Bentuk yang Menyerupai Kata Ulang
Terdapat pula kata-kata yang menyerupai kata ulang tersebut seperti mondar-mandir, compang-camping, kocar-kacir, kupu-kupu, gado-gado, onde-onde, dan sebagainya. Contoh-contoh kata tersebut bukan merupakan contoh kata ulang. Hal ini disebabkan tidak ditemukan bentuk dasar dari kata-kata di atas. Contohnya pada kata mondar-mandir tidak memiliki bentuk dasar mondar ataupun mandir. Sebab, dalam penggunaan bahasa Indonesia tidak ditemukan kata mondar maupun mandir.
Begitu pula dengan kata compang-camping. Dalam penggunaan bahasa Indonesia, tidak dikenal penggunaan kata compang maupun camping. Hal ini juga berlaku pada kata kocar-kacir, gado-gado, dan onde-onde. Sementara itu, sering juga dijumpai bentuk simpang-siur, sunyi-senyap, beras-petas yang sementara ini dianggap sebagai kata ulang bagi orang awam. Berkaitan dengan masalah ini, Ramlan (1985:68) menjelaskan bahwa bila bentuk tersebut dianggap sebagai kata ulang, berarti bahwa siur perubahan dari simpang, senyap perubahan dari sunyi, dan petas dari beras. Mungkinkah siur dari simpang, senyap dari sunyi, dan petas dari beras? Secara analisis, pendapat dari Ramlan tersebut belum dapat dibuktikan. Simpang-siur, sunyi-senyap, beras-petas, dan sebagainya dapat digolongkan ke dalam kata majemuk atau morfem unik.

Simpulan
Reduplikasi adalah proses pembentukan kata yang menggabungkan bentuk dasar dengan bentuk ulang. Jika digambarkan, maka prosesnya seperti di bawah ini
 kata ulangàbentuk dasar + {R}
Terdapat berbagai macam permasalahan yang muncul dalam reduplikasi, seperti bagaimana cara menentukan bentuk dasar dari kata ulang, bentuk-bentuk yang menyerupai reduplikasi apakah dapat digolongkan ke dalam bentuk reduplikasi atau tidak, dan sebagainya.
Bentuk dasar dari kata ulang dwilingga salin swara adalah kata umum yang dipakai dalam berbahasa sehari-hari. Jika dalam satu bentuk kata ulang tidak ditemukan satu kata umum yang digunakan dalam berbahasa, maka bentuk kata tersebut bisa digolongkan ke dalam bentuk kata majemuk atau morfem unik, bukan digolongkan ke dalam bentuk reduplikasi.
Munculnya berbagai permasalahan reduplikasi ini menganjurkan pemakai bahasa Indonesia untuk lebih memperdalam pengetahuan mereka tentang kata ulang dalam bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya kesalahan atau kerancuan dalam berbahasa.

MORFOFONEMIK

Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang

PENGERTIAN MORFOFONEMIK
Morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1985:75). Morfem {ber-}, misalnya, terdiri dari tiga fonem, ialah /b/, / Ə /, /r/. Akibat pertemuan morfem {ajar}, fonem /r/ berubah menjadi /l/, hingga pertemuan morfem {ber-} dengan morfem {ajar} menghasilkan kata {belajar}. Demikianlah di sini terjadi proses morfofonemik yang berupa perubahan fonem, ialah perubahan fonem /r/ pada {ber-} menjadi /l/.
Menurut Sumadi (2010:140) morfofonemik ialah “perubahan fonem” yang terjadi akibat bertemunya morfem yang satu dengan morfem yang lain. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Zaenal Arifin dan Junaiyah (2009:16) morfofonemik ialah proses berubahannya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal kata yang bersangkutan.
Kata {kerajaan} /k Ə raja?n/ terdiri dua morfem, ialah mprfem ke-an dan raja. Akibat pertemuan kedua morfem itu, terjadilah proses morfofonemik yang berupa penambahan, ialah penambahan fonem /?/ pada ke-an, hingga morfem ke-an menjadi /k Ə -?an/
Berdasarkan contoh-contoh diatas dapat dikemukakan dua catatan berikut. Pertama, sebenarnya yang berubah bukan fonemnya, melainkan hanya fonnya saja. Hal ini dapat dipahami karena fonem adalah satuan bunyi terkecil yang membedakan arti. Kedua, sebenarnya yang berubah bukan fonemnya pada afiks saja, tetapi yang berubah juga dapat terjadi pada fonem awal bentuk dasarnya.

MACAM MORFOFONEMIK DALAM BAHASA INDONESIA
Dengan memperhatikan contoh-contoh proses morfofonemik sebagaimana disajikan di atas, dapat dikemukakan bahwa proses morfofonemik dalam bahasa Indonesia ada tiga macam. Proses morfofonemik tersebut ialah proses perubahan fonem, proses penghilangan fonem, dan proses penambahan fonem.
1. Proses Perubahan Fonem
Dalam proses penggabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain dalam proses pembentukan kata dimungkinkan terjadi proses perubahan fonem (Sumadi, 2010:141). Misalnya terjadi akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/ pada kedua morfem itu berubah menjadi /m, n, n, n/, hingga morfem meN- berubah menjadi mem-, men-, meny-, dan meng-, dan morfem peN- berubah menjadi pem-, pen-, peny-, dan peng-. Perubahan-perubahan itu tergantung pada kondisi bentuk dasar yang mengikutinya.
a. Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi fonem /m/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /p/, /b/, /f/, /v/
Misalnya :
meN- + paksa → memaksa
meN- + bangun → membangun
meN- + fitnah → memfitnah
peN- + pikir → pemikir
peN- + bantu → pembantu
peN- + fitnah → pemfitnah

b. Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi fonem /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan fonem /t/, /d/, dan /s/. Fonem /s/ di sini hanya khusus bagi beberapa bentuk dasar yang berasal dari bahasa asing yang masih mempertahankan keasingannya.
Misalnya :
meN- + dapat → mendapat
meN- + tulis → menulis
meN- + suksekan → mensukseskan
peN- + tari → penari
peN- + dengar → pendengar
peN- + supply → pensupply

c. Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi /ny/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /s/, /sy/, /c/, dan /j/.
Misalnya :
meN- + sapu → menyapu
meN- + syukuri → mensyukuri
meN- + cari → mencari
meN- + jual → menjual
peN- + sembelih → penyembelih
peN- + cetus → pencetus
peN- + jajah → penjajah

d. Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan fonem /k/, /g/, /x/, /h/, dan fonem vokal.
Misalnya :
meN- + kutip → mengutip
meN- + gaji → menggaji
meN- + khawatirkan → mengkhawatirkan
meN- + hukum → menghukum
meN- + angkut → mengangkut
meN- + emban → mengemban
meN- + ikat → mengikat
meN- + uji → menguji
meN- + operasi → mengoperasi
peN- + karang → pengarang
peN- + gerak → penggerak
peN- + khayal → pengkhayal
peN- + hasil → penghasil
peN- + angkut → pengangkut
peN- + edar → pengedar
peN- + ikat → pengikat
peN- + uji → penguji
peN- + omel → pengomel

Pada kata mengebom, mengecat, mengelas, mengebur, pengebom, pengecat, pengelas, pengebur, juga terdapat proses morfofonemik yang berupa perubahan, ialah perubahan fonem /N/ menjadi /ng/ :
meN- + bom → mengebom
meN- + cat → mengecat
meN- + las → mengelas
peN- + bom → pengebom
peN- + cat → pengecat
peN- + las → pengelas

Dapat diketahui juga akibat bergabungnya morfem {ber-}, {per-}, {per-an}, dan {memper-i} dengan bentuk dasarnya, terjadi perubahan fonem /r/ menjadi /l/. Fonem /r/ pada morfem {ber-}, {per-}, {per-an}, dan {memper-i} berubah menjadi /l/ apabila bertemu bentuk dasar ajar. Kondisi inilah yang disebut berdistribusi komplementer (Sumadi, 2010:143).
Terjadi juga pada perubahan morfem {praktek} menjadi {praktik} apabila bertemu dengan afiks –an atau afiks –um. Dalam kajian morfologi, kondisi ini disebut berdistribusi komplementer. Dengan kata lain, morfem {praktek} dan {praktik} merupakan alomorf. Hal yang sama terjadi pada bentuk dasar apotik dan kata apoteker. Morfem {apotik} berubah menjadi {apotek} apabila bertemu dengan afiks –er (Sumadi, 2010:143).

2. Proses Penghilangan Fonem
Dalam proses penggabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain dimungkinkan terjadi proses penghilangan fonem. Adapun contoh proses penghilangan fonem adalah sebagai berikut:

meN- + nikah  menikah
meN-i + nikah  menikahi
meN-kan + nikah  menikahkan
peN- + waris  pewaris
peN-an + waris  pewarisan
ber- + renang  berenang
ber-an + rangkul  berangkulan
per- + rasa  perasa
per-an + rumah  perumahan
memper-kan + rebut memperebutkan

Berdasarkan contoh di atas dapat diketahui bahwa akibat bergabungnya morfem dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem, yaitu:
a. Bergabungnya morfem {meN-} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, terjadi penghilangan fonem /N/ pada morfem {meN-} tersebut.
b. Bergabungnya morfem afiks {meN-i} dan {meN-kan} apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, juga terjadi penghilangan fonem /N/ pada morfem {meN-i} dan {meN-kan} tersebut.
c. Bergabungnya morfem {peN-} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, terjadi penghilangan fonem /N/ pada morfem {peN-} tersebut.
d. Bergabungnya morfem afiks {peN-an} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, terjadi penghilangan fonem /N/ pada morfem {peN-an} tersebut.
e. Bergabungnya morfem {ber-} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /r/ atau suku pertama bentuk dasarnya bervokal lemah, terjadi penghilangan fonem /Әr/ pada morfem {ber-} tersebut.
f. Bergabungnya morfem afiks {ber-an}, {per-}, {per-an}, dan {memper-kan} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem fonem /r/ atau suku pertama bentuk dasarnya bervokal lemah, terjadi penghilangan fonem /r/ pada morfem {ber-an}, {per-}, {per-an}, dan {memper-kan} tersebut (Sumadi, 2010:144—145).
Ramlan (1985:87) sendiri menuliskan bahwa tidak hanya bentuk dasar yang berawalan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/ saja yang mengalami proses hilangnya fonem. Bentuk dasar yang berawal fonem /y/ juga dapat hilang jika bertemu dengan morfem meN- dan peN-. Contohnya:
meN- + nyanyi  menyanyi
meN-kan + yakin  meyakinkan

3. Proses Penambahan Fonem
Proses penambahan fonem antara lain terjadi sebagai akibat pertemuan morfem {meN-} dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku. Fonem tambahannya ialah /ə/. Sehingga {meN-} berubah menjadi {menge-}.
Misalnya :
meN- + bom  mengebom
meN- + cat  mengecat
meN- + las  mengelas
meN- + bur  mengebur

Proses penambahan fonem /ə/ terjadi juga sebagai akibat pertemuan morfem {peN-} dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku sehingga morfem {peN-} berubah menjadi {penge-}.
Misalnya :
peN- + bom  pengebom
peN- + cat¬¬¬  pengecat
peN- + las  pengelas
peN- + bur  pengebur

Pada contoh-contoh tersebut di atas jelaslah bahwa selain proses penambahan fonem /ə/, terjadi juga proses perubahan fonem, ialah perubahan fonem /N/ menjadi /ɧ/.
Akibat pertemuan morfem {–an}, {ke-an}, dan {peN-an} dengan bentuk dasarnya, terjadi penambahan fonem /ʔ/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan vocal /a/, penambahan /w/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /u/, /o/, dan /aw/, dan terjadi penambahan /y/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /i/ dan /ay/.
Misalnya :
-an + hari  harian /hariyan/
-an + lambai /lambay/  lambaian/lambayyan/
-an + terka  terkaan /tərkaʔan/
ke-an + lestari  kelestarian /kələstariyan/
ke-an + pulau /pulaw/  kepulauan /kəpulawwan/
ke-an + raja  kerajaan /kərajaʔan/
ke-an + pandai /panday/  kepandaian /kəpandayyan/
per-an + hati  perhatian /pərhatiyan/
per-an + tikai /tikay/  pertikaian /pərtikayyan/
per-an + temu  pertemuan /pərtəmuwan/
per-an + toko  pertokoan /pərtokowan/
per-an + sama  persamaan /pərsamaʔan/
peN-an + cuci  pencucian /pəñcuciyan/
peN-an + bantai /bantay/  pembantaian /pəmbantayyan/
peN-an + temu  penemuan /pənəmuwan/
peN-an + kacau /kacaw/  pengacauan /pəɧacawwan/
peN-an + ada  pengadaan /pəɧadaʔan/

BIROKRASI INDONESIA

Pengertian Demokrasi
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata biro atau bureau yang berarti kantor ataupun dinas, dan krasi atau cracy, kratie yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi secara etimologis merujuk pada makna dinas pemerintahan. Namun istilah birokrasi dapat dikembalikan juga pada berbagai istilah dari berbagai negara. Seperti istilah biro atau bureau, yang berarti meja tulis atau suatu tempat tertentu untuk bekerja bagi para pejabat. Birokrasi dalam istilah bahasa Yunani berarti aturan atau rule, dalam bahasa Perancis berarti bureaucratie. Sedangkan birokrasi dalam bahasa Jerman berarti bureaukratie. Terakhir untuk pemaknaan birokrasi dapat diambil dari bahasa Italia, birokrasi berarti burocracia (Taufik Nurohman). Sebagai instrumen negara, maka birokrasi memiliki sifat yang obyektif, rasional, dan impresional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan birokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalanan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat istiadat, tradisi, hukum, dll) yang banyak lika-likunya dsb.
Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
a. Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi. Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele. Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).
b. Hegel
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
c. Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.

Fungsi Birokrasi
Menurut Taufik Nurohman peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michael G. Roskin dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadministrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintahan menjalankan setidaknya dua dari fungsi dasar tersebut, dengan sebagian bekerja secara khusus pada biro tertentu dan sebagian lagi menjalankan fungsi ganda.
Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dealam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah :
a. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
b. Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public service ini.
c. Pengaturan (regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.
d. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli.
Selain Roskin, et.al., Andrew Heywood juga mengutarakan sejumlah fungsi yang melekat pada birokrasi. Bagi Heywood, fungsi dari birokrasi adalah :
a. Pelaksanaan Administrasi.
Fungsi ini serupa dengan yang diutarakan Roskin, et.al, bahwa fungsi utama birokrasi adalah mengimplementasikan atau mengeksekusi undang-undang dan kebijakan negara. Sehubungan dengan fungsi ini, Heywood membedakan 2 peran di tubuh pemerintah. Pertama, peran pembuatan kebijakan dalam mana peran ini ada di tangan politisi. Kedua, peran pelaksanaan kebijakan dalam mana peran ini ada di tangan birokrat. Sebab itu, kerap disebut bahwa suatu rezim pemerintahan disebut dengan “administrasi.” Misalnya administrasi Gus Dur, administrasi Sukarno, administrasi SBY, atau administrasi Barack Obama. Ini akibat kenyataan, suatu kebijakan baru akan “terasa” jika telah dilaksanakan. Fungsi administrasi, oleh karena itu, merupakan fungsi sentral dari birokrasi negara.
b. Nasehat Kebijakan (Policy Advice)
Birokrasi menempati peran sentral dalam pemberian nasehat kebijakan kepada pemerintah. Ini akibat birokrasi merupakan lini terdepan dalam implementasi suatu kebijakan, mereka adalah pelaksananya. Sebab itu, masalah dalam suatu kebijakan informasinya secara otomatis akan terkumpul di birokrasi-birokrasi. Heywood membedakan 3 kategori birokrat yaitu (1) top level civil servants, (2) middle-rangking civil servants, dan (3) junior-ranking civil servants. Top Level Civil Servant banyak melakukan kontak dengan politisi, sementara middle dan junior civil servants lebih pada pekerjaan-pekerjaan rutin di “lapangan.” Top Level Civil Servants dapat bertindak selaku penasehat kebijakan bagi para politisi, dalam mana informasi pelaksanaan kebijakan mereka peroleh dari middle dan junior civil servants.
c. Artikulasi Kepentingan
Kendati bukan fungsi utamanya guna mengartikulasi kepentingan (ini fungsi partai politik), tetapi birokrasi kerap mendukung upaya artikulasi dan agregasi kepentingan. Dalam tindak keseharian mereka, birokrasi banyak melakukan kontak dengan kelompok-kelompok kepentingan di suatu negara. Ini membangkitkan kecenderungan “korporatis” dalam mana terjadi kekaburan antara kepentingan-kepentingan yang terorganisir dengan kantor-kantor pemerintah (birokrasi). Kelompok-kelompok kepentingan seperti perkumpulan dokter, guru, petani, dan bisnis kemudian menjadi “kelompok klien” yang dilayani oleh birokrasi negara. Pada satu ini “klientelisme” ini positif dalam arti birokrasi secara dekat mampu mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok tersebut yang notabene adalah “rakyat” yang harus dilayani. Namun, pada sisi lain “klientelisme” ini berefek negatif, utamanya ketika birokrasi berhadapan dengan kepentingan-kepentingan bisnis besar seperti Bakri Group (ingat kasus Lapindo), kelompok-kelompok percetakan dalam kasus Ujian Nasional di Indonesia, dalam mana keputusan pemerintah “berbias” kepentingan kelompok-kelompok tersebut.
d. Stabilitas Politik
Birokrasi berperan sebagai stabilitator politik dalam arti fokus kerja mereka adalah stabilitas dan kontinuitas sistem politik. Peran ini utamanya kentara di negara-negara berkembang dalam mana pelembagaan politik demokrasi mereka masih kurang handal.

Karakteristik Birokrasi
Taufik Nurohman menyatakan bahwa karakteristik sebuah demokrasi adalah sebagai berikut:
a. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka.
b. Ada hirarki jabatan yang jelas.
c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
d. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak
e. Mereka dipilih dengan kualifikasi profesional.
f. Memiliki gaji dan pensiun.
g. Pos jabatan adalah lapangan kerja pokoknya.
h. Terdapat struktur karir dan promosi atas dasar merit sistem dan keunggulan.
Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
a. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.
Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
b. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya. Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.
Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya. Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.
c. Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan tugasnya. Sistem yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang eksplisit tersebut menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan diantara mereka, namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas – tugas birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal yang sifatnya rutin hingga tugas – tugas yang sulit.
d. Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil bagi semua orang dan persamaan pelayanan administrasi.
Idealnya pegawai- pegawai bekerja dengan semangat kerja yang tinggi “sine era et studio” tanpa rasa benci atas pekerjaannya atau terlalu berambisi. Standar operasi prosedur dijalankan tanpa adanya interferensi (dicampur) kepentingan personal. Tidak dimasukannya pertimbangan personal adalah untuk keadilan dan efisiensi. Impersonal detachment menyebabkan perlakuan yang sama terhadap semua orang sehingga mendorong demokrasi dalam sistem administrasi.
e. Sistem Karier (career system)
Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan, bukan melalui pemilihan; seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan daripada kepada rakyat pemilih. Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Dalam kondisi tertentu, birokrat itu juga memperoleh jaminan pekerjaan seumur hidup.

Tipe Birokrasi
Untuk melihat tipe-tipe birokrasi negara, dapat kiranya kita manfaatkan pemisahan tipe birokrasi menurut ideal typhus Amerika Serikat. Ideal typhus tersebut lalu kita komparasikan dengan apa yang ada di Indonesia.
Di Amerika Serikat, terdapat 4 jenis birokrasi yaitu : (1) The Cabinet Departments (departemen-departemen di dalam kabinet), (2) Federal Agencies (agen-agen federal), (3) Federal Corporation (perusahaan-perusahaan federal milik federal), dan (4) Independent Regulatory Agencies (agen-agen pengaturan independen).
Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas beberapa beberapa lembaga birokrasi yang dibedakan menurut tugasnya. Ada departemen tenaga kerja, departemen pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif.
Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari lembaga kepresidenan. Ia dibentuk berdasarkan pilihan dari presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu sifatnya lebih politis ketimbang murni administratif. Organisasi NASA di sana merupakan salah satu contoh dari agen-agen federal. Contoh dari birokrasi ini juga diposisikan oleh FBI (Federal Bureau Investigation). Di Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang memadukan antara posisinya sebagai agen pemerintah sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia contoh yang paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara (eksekutif) terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum sebagai sebuah lembaga bisnis pejabat memiliki otoritas untuk menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan. Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik negara ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Garuda Indonesia Airways (GIA), Perusahaan Listrik Negara (PNL) ataupun Bank Mandiri.
Agen-agen Pengaturan Independen, sebagai jenis birokrasi yang terakhir, merupkan birokrasi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi ekonomi terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan tersebut berkaitan secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh, kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, 'kredit-kredit macet' mereka. Selain itu, contoh bisa kita sebutkan misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia(KPI),dan sejenisnya.

Asas Birokrasi
Dalam melaksanakan birokrasi negara, setiap pejabat dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan dua asas, yaitu:
a. Asas Legalitas
Asas ini berarti tidak ada satu pun perbuatan atau keputusan dari pejabat atau para birokrat yang bersangkutan, boleh dilakukan tanpa dasar suatu ketentuan undang-undang, untuk itu para pejabat atau para birokrat harus memperhatikan delapan unsur legalitas, yaitu peraturan tertulis, penyebaran atau penggunaan peraturan, tidak berlaku surut, peraturan bisa dimengerti, tidak bertentangan satu sama lain, tidak menuntut diluar kemampuan orang, tidak sering berubah-ubah dan sesuai antara peraturan dan pelaksanaannya.
b. Asas Freies Ermessen atau Diskresi
Artinya pejabat atau para birokrat tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturan, oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas legalitas.

Contoh Masalah Birokrasi
Taufik Nurohman menytakan bahwa selama masa Orde Baru masalah-masalah yang dialami oleh birokrasi di Indonesia antara lain:
a. Birokrasi di Indonesia lebih banyak mengatur daripada memberikan pelayanan kepada publik. Karena masih banyak bersikap mengatur, akibatnya kemitraan (parthnership) atau proses kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat masih dirasakan belum akrab. Sesuai dengan ramalan Warren Bennis, maka proses kolaborasi itu merupakan ciri yang menonjol dari birokrasi masa depan.
b. Birokrasi Indonesia dewasa ini masih terperangkap pada jaringan
Parkinsonisme.
c. Masalah ketiga adalah masih menonjolnya ego sektoral bagi masing-masing birokrasi departemen.
d. Pelaksanaan tiga asas pemerintahan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind dalam birokrasi pemerintahan kita belum profesional. Pada intinya sistem pemerintahan ini mengikuti sistem desentralisasi. Akan tetapi pelaksanaannya lebih didominasi oleh pelaksanaan asas dekonsentrasi.
e. Birokrasi saat orde baru menempatkan pengembangan karir jabatan pegawai pemerintah lebih ditekankan pada hirarki atas.
f. Sentralisasi yang amat kuat
g. Menilai tinggi keseragaman dalam struktur organisasi
h. Pendelegasian wewenang yang kabur dalam manajemen
i. Kesulitan dalam menyusun uraian tugas dan analisis jabatan yang
semata-mata bersifat teknis
j. Kegagalan dalam upaya menerapkan organisasi matriks
k. Perkembangan profesionalisme berdasarkan spesialisasi dalam
organisasi yang masih sulit.
Sudah menjadi rahasia umum jika birokrasi yang selama ini kita kenal masih jauh dari harapan publik. Fakta-fakta yang ada menjelaskan jika penyebab dari hal ini tidaklah berdiri sendiri namun dibentuk oleh struktur-struktur sosial yang ada. Oleh karena itu menganalisis permasalahan birokrasi pemerintah tidak bisa menganalisis disatu sisi pemerintahan saja namun juga menganalisis struktur di masyarakat, budaya dan norma-norma sosial.
Beberapa fakta terhadap birokrasi pemerintahan oleh Wein Arifin diuraikan dibawah ini:
A. Fakta Penyalahgunaan Wewenang (patut diduga)
a. Proses tender proyek
Dalam proses tender sudah menjadi rahasia umum jika pemenang tender dapat diatur dan pemenang biasanya diharuskan memberikan fee kepada pejabat-pejabat terkait.
b. Proses implementasi kegiatan
Beberapa kegiatan seringkali menggunakan budget yang telah di mark up dan dalam proses pelaporannya menggunakan kuitansi palsu.
c. Rekruitmen CPNS
Dalam rekruitmen CPNS sudah menjadi rahasia umum jika terjadi tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi biasanya terjadi dimana agar seseorang lulus menjadi CPNS diharuskan membayar sejumlah uang (antara 70 – 120 juta). Sementara kolusi dan nepotisme terjadi melalui pejabat-pejabat berkuasa yang meluluskan anak, saudara dan masyarakat dikampungnya untuk menjadi CPNS.
d. Pengurusan beberapa ijin
Beberapa pelayanan publik seperti ijin mendirikan bangunan, ijin mengemudi, ijin usaha, pemasangan listrik, dll sangat rentan dengan peluang terjadinya korupsi
e. Pengurusan beberapa dokumen
Beberapa pengurusan dokumen seperti sertifikat tanah, dokumen usaha dll, sangat rentan terhadap peluang korupsi.
B. Fakta Aparatur
a. Masih menonjolkan kepentingan pribadi, koncoisme dan golongan yang sarat KKN.
Pejabat pemerintahan memiliki kecenderungan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya. Kondisi ini menyebabkan tidak berjalannya birokrasi secara profesional.
b. Tidak mentaati perundang-undangan yang berlaku.
Penegakan dan sistem hukum yang lemah menyebabkan pelaksana hukum (aparatur) menjadi berani untuk tidak mentaati hukum/perundah-undangan.
c. Arogan dan tidak memegang teguh jabatan sebagai amanah.
Pejabat yang berkuasa kecenderungan bersikap arogan dan tidak memegang teguh amanah jabatan.
d. Adanya kesenjangan pendapatan / gaji (salary), karena adanya akumulasi honor dan tidak ada pemerataan.
Seringkali pendapatan diluat gaji lebih besar daripada gaji pokok. Pendapatan diluar gaji besar kecilnya sangat tergantung dengan jabatan seseorang di pemerintahan.
C. Fakta Masyarakat
a. Budaya konsumerisme
Disadari atau tidak bahwa globalisasi selain bermanfaat juga membawa penumpang gelapnya yaitu budaya konsumerisme. Setiap hari masyarakat secara tidak sadar telah di doktrin oleh budaya konsumerisme dengan berbagai varia. Penyebaran budaya ini melalui berbagai media seperti televisi, internet dll. Sebagai contoh adalah masyarakat kita sekarang sangat peduli dengan barang-barang ber merk internasional sehingga “martabat” dan “gengsi” akan naik jika menggunakan barang-barang ber merk. Masih banyak contoh-contoh lain yang kondisi menjadi perangsang bagi pejabat untuk mendapatkan uang/pendapatan yang melebihi normal dan jalan pintasnya adalah penyalahgunaan wewenang.
b. Melanggar aturan dianggap suatu kewajaran
Masyarakat seringkali menganggap bahwa pencuri ayam lebih hina dibandingkan koruptor, padahal dua status ini adalah sama-sama pencuri. Kondisi lain adalah masyarakat sudah terbiasa mengambil jalan pintas misalnya membut SIM atau KTP dengan memberi “uang lebih” kepada petugas, padahal kondisi inilah yang mendukung perbuatan korupsi.
c. Pejabat dianggap sebagai sumber dana social
Pejabat dengan posisi yang strategis biasanya secara otomotis memiliki status sosial yang tinggi dimasyarakat. Kondisi ini menjadikan pejabat seringkali dijadikan sasaran oleh masyarakat untuk diminta sumbangan terkait dengan berbagai kegiatan sosial.
d. Kelompok masyarakat tertentu cenderung mempengaruhi pejabat untuk mencapai keinginannya
Kedekatan tertentu warga dengan pejabat yang sedang berkuasan merupakan suatu kebanggaan. Pejabat bercenderungan melakukan hegemoni kekuasaan dan hal ini bersinggungan dengan kecenderungan masyarakat yang sering mempengaruhi pejabat untuk mencapai keinginannya.
e. Kepedulian masyarakat terhadap penegakan hukum masih rendah
Masih banyak kita temui masyarakat yang tidak mau tahu terhadap proses penegakan hukum. Misalanya keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum atau berani menolak setiap ada tawaran terhadap pelayanan publik yang tidak sesuai dengan koridornya.
D. Fakta Aturan
a. Masih lemahnya penegakan hokum
Masih lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme membuka ruang dan kesempatan bagi aparatur untuk melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang. Selain hal tersebut banyak kita lihat jika pejabat-pejabat yang secara inkrah mejadi terpidana dalam suatu kasus namun mendapat hukuman dibawah 5 (lima) tahun penjara dan beberapa fakta menunjukaan mereka hanya dihukum kurungan dibawah 5 tahun dengan berbagai kebijakan pengurangan masa tahanan.
b. Sanksi terhadap pelanggaran UU korupsi masih sangat ringan
Sanksi terhadap terpidana korupsi masih sangat ringan. Kondisi ini menyebabkan tidak munculnya efek jera terhadap terpidana dan hal ini ditambah lagi masih lemahnya peradilan yang patut diduga putusan pengadilan masih dapat dipengaruhi dengan uang.
c. Perangkat aturan belum sempurna
Aturan untuk meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang pada dasarnya telah ada namun belum “ditakuti” oleh aparatur pemerintahan
d. Kekerabatan Yang Cenderung Mengalahkan Norma-norma hokum
Praktek kolusi dan nepotisme seringkali menabrak norma-norma hukum yang ada dan kondisi ini menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
e. Penghargaan dan Sanksi (Reward and Punishment) Belum Membudaya
Hakekat dari perlunya ada reward dan punisment bagi suatu manajemen adalah untuk meningkatkan produktifitas kinerja staf. Perusahaan-perusahan yang baik biasanya menggunakan sistem reward dan punisment yang ketat. Perusahaan menjadi demikian karena dipaksa oleh suatu keadaan dimana mereka diharuskan bersaing dengan pasar dan dipasar hukum yang berlaku adalah siapa yang kuat dia menang.
Sistem reward dan punisment pada dasarnya telah dimiliki oleh penyelenggaraan birokrasi di Indonesia. Permasalahannya adalah sudah sejauh mana sistem ini mampu meningkatkan kinerja dari pegawai negeri? Apakah sistem tersebut telah mampu menstimulasi pegawai untuk bekerja mengejar prestasi (achievment)? Apakah sistem tersebut telah mampu memecat pegawai-pegawai yang tidak bekerja berdasarkan aturan main dan atau tidak menunjukkan prestasi apa-apa.
Beberapa analisis masalah terhadap birokrasi diatas berangkat dari fakta-fakta yang terjadi. Fakta tersebut ibarat kentut yaitu tercium aromanya namun tidak diketahui asalnya, sehingga dapat diartikan fakta-fakta diatas sudah menjadi rahasia umum namun sangat sulit untuk membuktikannya secara hukum.
Proses indentifikasi diatas bukanlah hal yang mengejutkan karena sifatnya hanya mengumpulkan fakta-fakta yang ada dan hal-hal tersebut juga telah diketahui secara umum namun proses ini menjadi sangat penting untuk merumuskan kerangka strategi membangun tata pemerintahan yang baik.
Menurut Suwondo, masalah-masalah birokrasi di Indonesia saat ini antara lain;
a. Birokrasi terjebak pada kekuasaan sebagai tujuan, padahal kekuasaan adalah saranan untuk mencapai program organisasi; birokrasi cenderung mengelak dari masyarakat yang seharusnya dilayani;
b. Birokrasi tidak hanya sbg pelaksana kebijakan, justru cenderung masuk juga ke ranah pembuatan kebijakan;
c. Kegiatan memerinci dan penerapan kebijakan pemerintah menjadi monopoli birokrasi. Akibat keahlian ini termasuk juga kealian teknis, maka rakyat dan juga wakil rakyat sukar sekali untuk melakukan kontrol terhadap mereka.
d. Karena elite penguasa (kepala daerah) mempunyai hak dalam kenaikan karir birokrat, maka kecenderung birokrasi tidak netral dan sangat tergantung pada elite pemeritah dan juga elite politik.

Strategi Untuk Memulihkan Birokrasi
Taufik Nurohman menyatakan bahwa terdapat sembilan strategi yang dapat digunakan untuk memulihkan birokrasi di sebuah negara.
a. Weberisasi
Weberisasi adalah program untuk mengarahkan birokrasi sehingga
menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional,
profesional dan berorientasi melayani masyarakat (public service).
b. Parkinsonisasi
Parkinsonisasi merupakan kebijakan menata birokrasi dengan
memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
c. Orwellisasi
Orwellisasi ditunjukkan untuk mendukung pembesaran sosok negara
visa masyarakat, dan pada gilirannya dapat meningkatkan
kapabilitas regulatif negara
d. Jaksonisasi
Istilah ini dikenal untuk konteks Indonesia. Jaksonisasi adalah upaya
untuk menjadi birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan
menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan
sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D. Jackson (1980)
sebagai bureaucraty polity.
e. Strategi inti, yaitu strategi yang mempunyai tujuan jelas dan
berhubungan dengan fungsi utama pemerintah, yaitu pengendalian.
f. Strategi konsekuensi, yaitu strategi yang memaksa para pegawainya
untuk mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan.
g. Strategi pelanggan, yaitu strategi yang mengutamakan
pertanggungjawaban birokrasi.
h. Strategi pengawasan, yaitu strategi yang menempatkan kekuasaan/
wewenang untuk membuat keputusan, yang pada umumnya
kekuasaan tersebut selalu berhubungan dengan puncak hirarki.
Strategi ini mendorong kekuasaan pembuat keputusan secara
signifikan diturunkan berdasarkan prinsip hirarki yang pada akhirnya akan sampai kepada masyarakat.
i. Strategi kebudayaan, yaitu strategi yang dipengaruhi keempat strategi
di atas yang berarti dengan mengubah keempat strategi itu maka
budaya akan berubah pula.