Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Senin, 22 April 2013

TOKOH IBU DAN SISI LAINNYA DALAM SUDUT PANDANG PROSA “PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN”


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang



Aku melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan terbangun karena kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada azan. Tak ada kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio tukang susu. Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku tertatih keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang separuh terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan di udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya.

Kutipan di atas merupakan penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian merupakan buah karya dari Arvianti Armand. Cerpen ini sendiri diterbitkan pertama kali di koran Kompas Minggu. Arvianti Armand merupakan nama baru dalam dunia sastra ketika ia menerbitkan cerpennya ini. Walaupun begitu, cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik, yang pada akhirnya dibukukan dalam Antologi Cerpen Kompas Pilihan Tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan tragedi kekerasan yang dialami seorang Ibu karena suaminya, dimana anaknya yang bernama Radian menjadi saksi mata. Memang, tidak heran jika cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik kompas tahun 2009. Cerpen ini memiliki berbagai macam keunikan dalam penceritaannya. Salah satu keunikan itu terdapat pada unsur sudut pandangnya. Sudut pandang yang digunakan terdapat dua, yaitu sudut pandang pertama (tokoh Ibu) dan sudut pandang ketiga (penulis).
Apa definisi dari sudut pandang itu sendiri? Sudut pandang merupakan salah satu unsur intrinsik selain tema, latar, pesan, penokohan, alur yang membuat cerpen menjadi utuh. Sudut pandang merupakan cara pandang pengarang yang bercerita dengan menempatkan pengarang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, atau bahkan orang yang ada di luar cerpen itu sendiri (Prabowo, 2011). Unsur ini tidak bisa dianggap remeh karena pemilihan sudut pandang juga tidak hanya akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempengaruhi alur cerita.
Menurut Friedman  sendiri (Prabowo, 2011), sudut pandang secara garis besar terdapat dua macam, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “aku” inilah pengarang mengisahkan peristiwa atau tindakan dengan kesadaran dirinya sendiri. Tokoh “aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan. Sedangkan dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya atau kata gantinya “dia” atau “ia”.
Sebenarnya, bagaimana keunikan sudut pandang cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian ini? Berikut akan saya kutipkan lagi satu penggalan cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian.
Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman. Perempuan itu jatuh terduduk di lantai dapur. Tenaga telah dikuras keluar. Habis. Air mata telah dikuras keluar. Habis. Kini ia terlongong kosong. Anak lelaki itu mendekat, lalu duduk merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. Ibu, bisiknya.
Kalau kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu. Tak tahu. Radian kembali menekuri gambarnya. Apakah kamu mencintai ayah? Aku mengangkat bahu lagi. Tak tahu. Yang kutahu, aku mencintaimu. Radian tersenyum tanpa mengangkat kepala. Apakah aku mencintainya? Aku tidak ingat.
Ketika membaca penggalan cerpen di atas, pembaca secara tidak sadar dibawa penulis untuk berpindah sudut pandang cerita. Pada kalimat Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman hingga  kalimat Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu, penulis menggunakan sudut pandang ketiga. Sudut pandang ketiga ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan itu. Namun, pada paragraf berikutnya yang dibuka dengan kalimat Kalau kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu sudut pandang cerita berubah menjadi sudut pandang pertama. Sudut pandang pertama itu ditunjukkan pada penggunaan kata aku.
Berikut contoh lain dari penggunaan sudut pandang yang berubah-ubah ini.
...
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
...
Pada paragraf yang dimulai dengan kata Jendela tersebut, penulis menggunakan sudut pandang ketiga dalam penceritaannya. Sudut pandang ketiga itu ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan itu. Sedangkan, pada paragraf berikutnya yang dimulai dengan kata Aku, penulis berganti penggunaan sudut pandang menjadi sudut pandang pertama. Penulis menggunakan kata aku sebagai sudut pandang pertama dalam penceritaannya.
Begitulah penulisan sudut pandang dalam cerita Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian ini, yaitu berubah-ubah. Perubahan sudut pandang ini terlihat mencolok karena penggunaan kata aku dan perempuan itu yang saling bergantian sebagai sudut pandang cerita. Jelaslah bahwa penggunaan dua sudut pandang ini mempengaruhi penyajian cerita. Namun, perubahan sudut pandang ini tidak mempengaruhi alur cerita. Mengapa demikian? Karena dalam cerita ini, sudut pandang ketiga (perempuan itu) adalah sudut pandang dari aku, yaitu tokoh Ibu. Sudut pandang ketiga itu bukanlah sudut pandang penulis. Pernyataan ini terkuak dari penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian di bawah ini
...
Malam terasa berat, tapi sinar bulan cukup untuk meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru. Mungkin lelah. Atau putus asa. Tapi jelas ia marah. Kemarahan membayang seperti sayap-sayap hitam seekor gagak, menyambar dan mencakar-cakar wajah itu, meninggalkan kerut-kerut yang dalam.
...
Kalimat yang menunjukkan bahwa sudut pandang ketiga perempuan itu merupakan sudut pandang yang sama dengan Ibu dan bukanlah sudut pandang penulis adalah Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut, Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru.
Dari penggalan di atas, dapat diketahui bahwa sudut pandang ketiga perempuan itu bukanlah sudut pandang penulis yang berada di luar cerita atau tidak terlibat dalam cerita. Sudut pandang ketiga tersebut merupakan sisi lain dari tokoh Ibu. Yang dimaksud sisi lainnya adalah bayangan tokoh Ibu dalam cermin. Ketika tokoh Ibu melihat bayangannya sendiri, ia merasa benci dan tidak suka dengan bayangan itu. Sehingga, ia memberi julukan perempuan itu kepada bayangannya sendiri. Frasa perempuan itu-lah yang dijadikan sudut pandang ketiga dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini.
Secara teori, frasa perempuan itu sah-sah saja menjadi frasa sudut pandang ketiga, walaupun makna dari “perempuan itu” adalah sisi lain dari tokoh Ibu. Hal ini disebabkan frasa tersebut menjadi subjek yang menceritakan peristiwa demi peristiwa dalam cerpen. Selain itu, tidak digunakannya kata aku sebagai subjek pencerita sudah jelas menunjukkan bahwa penulis menggunakan jenis sudut pandang lain dalam cerpen ini. Jenis sudut pandang lain itu tidak lain adalah sudut pandang ketiga. Sudut pandang ketiga dalam cerpen ini adalah sudut pandang ketiga terbatas. Artinya pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh satu tokoh, yaitu Ibu. Namun, apa sebenarnya pengaruh penggunaan sudut pandang macam itu?
Penggunaan model sudut pandang dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini menjadi kekuatan tersendiri, karena sudut pandang ini dapat mendukung atau memperkuat karakter tokoh Ibu. Tokoh Ibu dalam cerpen ini dijelaskan sebagai Ibu yang mengalami kompleksitas emosi. Kompleksitas ini tumbuh dari kekerasan rumah tangga yang dialami, masa lalu yang tidak bahagia, dan kesedihan serta kekhawatiran terhadap Radian juga gambar-gambar buatannya. Selain faktor dari luar, tokoh Ibu juga mengalami kompleksitas emosi dari diri sendiri. Dalam cerpen ini, dijelaskan bahwa tokoh Ibu sendiri sebenarnya kecewa dengan dirinya sendiri yang selalu menjadi korban kekerasan. Kekecawaan itulah yang ia ungkapkan melalui sisi lain, yaitu perempuan itu. Secara tidak langsung, perubahan sudut pandang itu dapat menggambarkan emosi tokoh Ibu yang naik turun sehingga pemaknaan karakter serta konfliknya dapat terasa lebih mendalam. Berikut penggalan cerpen yang menggambarkan kompleksitas emosi tersebut.
...
Perempuan itu menunjukkan gambar tadi pada suaminya saat makan malam. Kepala sekolah menunjukkan gambar itu padanya tadi pagi. Gambar Radian. Lelaki itu tak berkata sepatah pun. Ia hanya menggebrak meja, mengambil piring, dan melemparkannya. Tepat ke muka. Ia tercekat. Rasa sakit nyaris meledakkan kepala. Ia menelannya. Kemarahan menyergap seketika. Ia menelannya. Suara piring yang pecah memekakkan telinga. Anak lelakinya keluar dari kamar dan terdiam di pintu, tidak lagi heran ketika ayahnya pergi.
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
Aku tidak lapar, Ibu. Anak lelaki itu ketakutan. Tapi perempuan itu tetap berjalan ke dapur. Ia tidak membuka lemari pendingin, tidak meletakkan panci di atas api. Ia cuma mengambil pisau dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali. Matanya menatap ke depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan gerakan memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang mungkin hanya ada di kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat. Keringat turun berbulir-bulir dari dahinya. Air turun berbulir-bulir dari matanya. Anak lelaki itu tak berani mendekat. Ia cuma menatap punggung ibunya yang berguncang keras. Sesuatu dari dalam telah merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak mengenalinya lagi. Aku tak mengenalinya lagi.
...
Memang pada umumnya, cerpen menggunakan satu sudut pandang dengan asumsi agar tidak membingungkan cerita itu sendiri. Namun, tidak pada cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini. Justru unsur sudut pandang dimanfaatkan, bahkan dibelokkan sedikit, untuk mendukung unsur-unsur lainnya dalam cerpen. Hasilnya, pemanfaatan dan pembelokan itu dapat menciptakan serta mendukung kekuatan tema cerita, tokoh juga perwatakan tokoh Ibu. Toh pemanfaatan dan pembelokan itu merupakan hal yang lumrah. Selama tidak keluar terlalu jauh dari teori dasar dan bertujuan untuk menguatkan keutuhan cerpen, tidak ada salahnya untuk bermain-main dan berkreatifitas setinggi mungkin untuk mengotak-atik unsur-unsur cerpen yang ada.

DEMOKRASI IDEAL ALA AGUS R. SARJONO DALAM SAJAK “DEMOKRASI DUNIA KETIGA”


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang

 
Kalian harus demokratis.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku            
bukankah engkau tahu.
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,                                                                        
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis.
Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku,
tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!                                                
Tentu saja
saya setuju, bukankah selama ini saya telah mencoba.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.                                                            
Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara!
Ingat gerombolan demokrasi yang kami galang akan melindasmu habis.    
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!                                                                                           

            Puisi di atas merupakan salah satu puisi Agus R. Sarjono yang dimuat di Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi. Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi merupakan antologi puisi dari beberapa pengarang seperti WS. Rendra, Acep Zamzam Noor, Ahda Imran, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, Diro Aritonang, Eriyandi Budiman, Juniarso Ridwan, Muhammad Ridlo ‘Eisy, Nenden Lilis A., Sonni Farid Maulana, Yessi Anwar, dan Agus R. Sarjono (Rendra, 2005). Demokrasi Dunia Ketiga merupakan puisi yang terlahir pada tahun 1998, dimana tahun tersebut alm. Bapak Soeharto masih menjabat menjadi Presiden RI. Puisi di atas adalah salah satu puisi yang blak-blakan, sesuai dengan gaya penulisan Agus R. Sarjono yang blak-blakan. Mengapa Agus R. Sarjono menulis puisi seperti tersebut? Semasa kuliahnya di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Bandung, Agus R. Sarjono terlibat aktif dalam kelompok Diskusi Lingkar yang mendiskusikan berbagai isu sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada masa Orde Baru (Wikipedia, 2011). Maka tidak heran jika sisi “pemberontak” dapat dilihat dari puisi Demokrasi Dunia Ketiga ini. Lihat saja Sajak Palsu, Di Sebuah Restoran Indonesia Juni 1998, Air Mata Hujan, dan lain sebagainya. Anda akan menemukan keliaran Agus dalam menyampaikan kritik sosialnya secara dramatis di baris ke baris. Bagaimana Agus menuliskan keliarannya itu dalam puisi Demokrasi Dunia Ketiga? Berikut akan diuraikan bagian per bagian dari puisi tersebut.
            Istilah demokrasi sendiri berasal dari kata demos yang artinya rakyat dan cratein yang berarti pemerintah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perwantaraan wakilnya. Istilah dari rakyat, untuk rakyat merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam dunia demokrasi. Istilah itu menunjukkan bahwa kekuasaan di tangan rakyat. Rakyat juga dapat mengungkapkan gagasan atau pandangan hidupnya untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain. Namun, apa yang dimaksud Agus R. Sarjono dalam frasa dunia ketiga itu sendiri? Jika dihubungkan dengan istilah politis demokrasi, maka frasa dunia ketiga berhubungan dengan istilah negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang. Dalam Wikipedia (2012) dijelaskan bahwa negara dunia ketiga bukanlah negara industri atau yang maju dari segi teknologi. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berkembang. Begitu pula dengan penerapan demokrasinya. Agus R. Sarjono, sebagai aktivis sosial, budaya, dan ekonomi, menerawang penerapan demokrasi 1998 sebagai penerapan yang masih tidak karuan.
            Jika melihat latar belakang masalahnya, maka puisi ini berisi kritikan dan sindiran terhadap penerapan demokrasi di pemerintahan Indonesia tahun 1998. Di tahun 1998 terjadi krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah (Wikipedia, 2013). Hal ini memperbesar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto. Hal inilah yang membuat mahasiswa dari berbagai organ aksi mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Agus sendiri, sebagai aktivis politik, sosial, dan budaya dari kelompok Diskusi Lingkar, menyikapi masalah tersebut dengan mengkritik penerapan demokrasi yang belum benar. Demokrasi yang ditetapkan di tahun 1998 adalah demokrasi Pancasila. Sayangnya, muncul kesan bahwa demokrasi ini tercipta hanya untuk menjaga citra “negara demokrasi”. Hal ini terbukti dari praktik demokrasi diktatorial yang masih diterapkan dan digencarkan. Hingga muncullah krisis moneter yang memperburuk kondisi keuangan masyarakat Indonesia. Setiap baris puisi yang ia tulis merupakan pemberontakannya terhadap praktik demokrasi di tahun 1998 kepada pemerintah.
Kalian harus demokratis.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau tahu
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Kekuatan pemberontakan Agus dapat dirasakan pada kata-kata penegasan dan perintah seperti harus, tutup mulut, kukepalkan, kutonjokkan ke hidungmu, terserah padaku. Agus berani menuntut pemerintah (kalian) untuk berdemokratis, walaupun ia tahu bahwa ia bisa mendapatkan sanksi tinju (dipukul atau dibunuh), ia tetap berjuang melawan pemerintah. Memang, karena diktaktorship, siapapun yang melawan Presiden akan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas seperti dihilangkan, dipukul, dipenjara, dan lain sebagainya. Namun, hal itu tidak menjadi kendala bagi Agus. Bahkan, ia juga berani untuk mengirim balik tinju itu kepada pemerintah. Sikap ini menunjukkan bahwa Agus, dan mungkin demonstran lainnya, sudah mencapai titik puncak emosi. Mereka siap untuk melawan juga. Dari baris pertama ini hingga baris ketujuh dapat dirasakan sikap Agus yang tegas dan tidak takut untuk melawan pemerintah.
Bagaimana dengan baris-baris berikutnya?
Pokoknya kamu harus demokratis.
Lagipula kita tidak sedang bicara soal aku,
Tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!
Pemberontakan Agus terhadap pemerintah semakin ditegaskan di baris kedelapan hingga kesepuluh. Penggunaan kata kamu yang ditujukan kepada pemerintahan menjadi simbol bahwa Agus tidak takut untuk memberi peringatan kepada pemerintah. Ditambah pemilihan kata harus yang lebih berarti pemaksaan atau penuntutan. Penggunaan frasa harus demokratis diulang dua kali pada baris kedepalan dan kesepuluh. Memang tujuan utama Agus dari puisi ini adalah menuntut pemerintah untuk melakukan demokrasi yang benar. Sikap tegas dan keras Agus juga ditunjukkan pada baris-baris berikutnya
Tentu saja
saya setuju, bukankah selama ini saya telah mencoba.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.
Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara!
Pada baris ketigabelas hingga keenambelas, Agus mulai mengungkapkan latar belakang mengapa ia memaksa pemerintah untuk melakukan sikap demokratis yang benar. Demokrasi yang benar, bila dilaksanakan dengan baik, dapat menyelesaikan kasus (perkara) yang sedang terjadi. Kasus yang sedang terjadi saat itu adalah krisis moneter yang menyengsarakan masyarakat, dimana nilai mata uang sangat tinggi sehingga yang kaya menjadi lebih kaya dan yang miskin menjadi lebih miskin. Ia menuliskan gagasannya secara lantang dan tegas, sehingga menimbulkan kesan yang berani, tidak takut. Di baris-baris berikutnya, Agus menggunakan diksi yang lebih berani dan lebih tegas untuk mengungkapkan gagasannya.
Ingat gerombolan demokrasi yang kami galang akan melindasmu habis.
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis
Awas kalau tidak!
Keberanian Agus untuk melakukan pemberontakan akan menjadi lebih liar, seperti yang ia tulis pada baris ketujuhbelas. Gerombolan demokrasi yang kami galang merupakan ungkapan dari mahasiswa yang berbondong-bondong melakukan demo demi menuntut adanya penegakan demokrasi yang benar dari pemerintah. Bahkan mungkin tidak hanya mahasiswa saja, melain demonstran lain yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Sekali lagi, Agus menekankan kata “demokratis” untuk pemerintah dengan mengulang frasa kamu harus demokratis. Pengulangan frasa kamu harus demokratis itu sebenarnya membuat tanda tanya besar. Bagaimana demokrasi yang ideal menurut Agus sendiri?
            Tentu saja demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang sesuai dengan sistemnya, yaitu memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat. Dengan begitu, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Namun, praktiknya di masa kepemimpinan Soeharto, demokrasi itu tidak terjadi. Malah demokrasi hanya menjadi formalitas dan tidak diterapkan dengan baik. Otoriter dan diktaktor masih menjadi identitas utama dalam negara Indonesia waktu itu. Agus, menilai bahwa demokrasi yang dilakukan Indonesia belum terlaksana. Dalam puisi Demokrasi Dunia Ketiga ini, ia menyindir habis-habisan pemerintah yang belum bisa berdemokrasi. Bukankah hal yang memalukan bagi negara, melihat seorang aktivis dan budayawan yang berani menggunakan kata kamu menunjuk kepada pemerintahan atau pejabat negara (Presiden) untuk melakukan demokrasi yang benar? Bukankah hal yang memalukan bagi negara bila rakyatnya sendiri berani untuk mengancam dan melawan pemimpinnya sendiri? Semua itu telah ditulis secara liar oleh Agus R. Sarjono dalam puisi ini. Ia, sebagai aktivis dan salah satu saksi kasus Orde Baru di tahun 1998, menuliskan betapa liar dan beraninya mahasiswa di tahun itu.  Hal ini juga menandakan bahwa memang pemerintah di tahun itu belum bisa demokratis. Mereka tidak bisa memahami dan menerapkan definisi demokrasi dengan baik.
            Agus menuliskan puisi Demokrasi Dunia Ketiga dengan kata-kata yang  tegas dan lugas seperti kamu, tutup mulut!, tinjuku, kutonjokkan, harus, sudahlah!, perintahkan, gerombolan demokrasi, melindasmu, dan awas muncul sebagai kata-kata penegasan. Agus sendiri menggunakan kata-kata yang tidak sepenuhnya konotatif. Artinya, ia tidak ingin berbasa-basi dalam menyampaikan gagasannya. Kata-kata tegas dan tebal lebih diutamakan untuk menunjukkan kemarahan kepada pemerintahan.
Puisi ini memang tidak panjang, tidak menggunakan kata-kata konotatif, namun Agus mampu membungkus “kemarahannya” dengan menunjukkan sisi liar, garang, berani, dan tegas. Sehingga menafsirkan kesan bahwa pemberontakan di tahun 1998 tidak main-main. Selain itu, kritikan tajam diberikan kepada sistem demokrasi Indonesia yang jelek. Agus tidak henti-hentinya menulis kamu harus demokratis untuk pemerintah di puisinya ini. Frasa kamu harus demokratis ini menunjukkan bahwa Agus, aktivis politik, sosial, dan budaya, benar-benar liar dalam mengungkapkan gagasan dan pemikirannya.