Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA SETENGAH IP


Mahasiswa Setengah IP

Oleh Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang

Indeks Prestasi
Berapakah IP kamu? Pertanyaan itu mungkin akan menjadi sebuah dilema untuk dijawab ketika mahasiswa mencapai IP yang dianggap kurang. Meskipun tinggi rendahnya IP adalah relatif bagi setiap orang. Hal itu menunjukkan bahwa mahasiswa menganggap IP sebagai tolok ukur kepemilikan pengetahuan. IP (Indeks Prestasi) adalah hasil pengukuran belajar dari semua matakuliah yang diikuti melalui tes dan dinyatakan dalam bentuk angka 0-4 atau huruf A, B, C, D, dan E (Wikipedia, 2013). Nilai tersebut menggambarkan tingkat prestasi belajar dalam satu semester atau selama studi. Lebih jauh lagi, IP yang telah dikumulatif (IPK) dapat menentukan kesempatan kerja yang lebih baik. Hampir seluruh lowongan pekerjaan mensyaratkan pelamar harus memiliki IPK minimal 3,00. Memang betul bahwa mahasiswa dengan IPK yang tinggi akan lebih unggul atau lebih mudah untuk lolos seleksi pekerjaan, tetapi bukan mendapatkan pekerjaan. Mengapa demikian? IPK yang tinggi menjadi syarat utama dalam penyaringan pelamar pekerjaan pada tahap pertama. Pada tahap selanjutnya, kemampuan teknis atau  skill serta kemampuan komunikasi dan sikap menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya pelamar tersebut.
Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan
Menurut H. Carl Witherington, hakikat belajar adalah perubahan positif dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Pola-pola tersebut muncul dari pengalaman. Pada dasarnya pula, pembelajar sejati adalah manusia yang menuntut ilmu, memperdalam ilmu, serta mendidik didiknya sendiri secara terus menerus hingga ujung waktu. Menuntut ilmu harus dijalani dengan rasa semangat dan cita-cita yang luhur. Sayangnya, mahasiswa sebagai pembelajar cenderung belum mengalami proses belajar yang sesungguhnya karena sibuk mencatat pengetahuan (kognitif) dari dosen untuk mengejar nilai tinggi. Orientasi ini harus berubah, dari mengejar nilai menjadi mengejar kecerdasan. Tolok ukur dari kecerdasan mahasiswa atau pembelajar adalah pengetahuan yang luas, skill atau keterampilan yang bisa ditampilkan dalam perilaku, serta sikap yang baik. Hal itu semua lebih dikenal sebagai kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Ketiga hal itulah hal yang harus diraih ketika mengikuti proses pendidikan. Ketiga aspek tersebut harus berjalan dengan baik dan seimbang.
IP yang Berkualitas atau Berkuantitas?
IP bagus tidak dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan kualitas seorang pembelajar. Namun, tentu saja keberadaan IP masih penting untuk mengevaluasi capaian mahasiswa. Selain menjadi syarat melamar pekerjaan nantinya, IP menjadi bukti prestasi yang dapat membanggakan keluarga di rumah. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apa tanggung jawab mahasiswa  terhadap IP tinggi yang telah diperoleh? Tanggung jawab dari IP tinggi adalah kualitas yang tinggi. Kualitas tinggi ditunjukkan dengan kecerdasan dan akhlak mulia. Kualitas itu terwujud pada kinerja, sikap, dan perilaku baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. IP seharusnya dipersepsikan sebagai prestasi belajar yang mencerminkan pencapaian mutu pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai hasil belajar. Pertanyaan selanjutnya, bisakah mahasiswa mengubah pandangannya terhadap IP selama ini? Sudah saatnya mahasiswa tidak memandang IP sebagai bentuk angka yang harus dipuja. Toh kualitas bukan sesuatu yang dapat diangkakan, tetapi diwujudkan dengan nyata.