TITUS YANG HIDUP DI GENERASI ORBO
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Yang kutahu aku sedang bermain dengan Buda, Budi, dan Badu. Namun, kini mereka menghilang. Sudah kucari ke mana-mana. Ke kolong kursi antik, ke kamar mandi, ke dapur, hingga ke genteng pun juga tak kutemukan. Ah, aku dibohongi lagi. Apa mereka menganggapku bodoh sehingga aku bisa dipermainkan seperti ini terus menerus. Mereka kira aku tidak tahu permainan petak umpet ini apa? Tcih! Aku lebih hebat dari mereka yang tidak mengerti gobak sodor atau benteng-bentengan! Apa sih yang mereka ngerti? Mereka itu hanya anak kecil manja, yang semaunya sendiri. Mentang-mentang mereka orang kaya yang punya
Pernah aku melihat tontonan kesayanganku bersama ketiga anak manja itu (tentu saja aku melihat dari belakang dapur, sedangkan mereka di depan televisi sambil mendongakkan kepalanya). Spongebob. Tontonan kartun yang aku sayangi. Tak pernah sekalipun aku tidak menontonnya. Jika tidak menontonnya, aku merasa menyesal. Makan tidak enak, tidur tidak enak. Ingin sekali aku memiliki boneka, baju, sandal, dan tas bergambar Spongebob. Ingin sekali aku seperti ketiga anak manja itu, yang dengan mudahnya menengadahkan tangannya sambil merengek kepada tuan dan nyonya, “Ma pa, aku pingin tas spongebob!!!”. Tak ada satu hari, tuan dan nyonya membawa seperangkat alat sekolah yang bergambarkan Spongebob. Betapa girangnya mereka dan betapa jengkelnya aku.
Aku, yang ingin membuktikan bahwa aku adalah anak yang lebih beruntung dari mereka, meminta kepada Ibu tas peralatan sekolah Spongebob lengkap dengan bajunya. Ibuku hanya tersenyum, mengusap kepalaku, dan kemudin pergi setelah mendengar keinginanku. Apa itu maksudnya? Apakah aku akan dibelikan peralatan sekolah Spongebob beserta bajunya? Apakah Ibuku langsung pergi untuk membeli itu semua? Ah, semudah inikah aku mendapatkan keinginanku? Hahh, betapa beruntungnya aku daripada mereka. Sebab, aku lebih pintar dan Ibuku akan membelikan semua yang aku pinta.
“Besok Ibu akan mengajak kau ke toko Pak Amir. Kita akan membeli baju batik untukmu serta tas parasut untukmu. Kau pasti sangat senang sayang.”. Tidak! Aku tidak ingin batik atau sebagainya! Aku hanya mau Spongebob!!
---------
Celana abu-abuku robek. Mungkin ini keempat kalinya robek setelah aku memanjat pagar sekolah. Eits! Tunggu dulu. Jangan kira aku memanjat pagar sekolah karna aku terlambat datang ke sekolah dan tidak ingin ketinggalan pelajaran sehingga aku memanjat sekolah pagar. Gila! Siapa yang mau merelakan dirinya memanjat pagar demi pelajaran? Tentu saja bukan aku. Aku memanjat pagar keramat ini karna aku bosan dengan ocehan guru yang senangnya mengubah warna kulit muridnya menjadi biru. Iya! Menjadi biru hingga penegak hukum ikut turun tangan mewarnai muridnya dengan warna abu-abu.
Niatku untuk menuntut ilmu di sekolah ini menjadi buyar karna pahlawan tanda jasa itu sudah pergi entah ke mana. Mungkin ia sudah terkubur ke dalam tanah hingga dimakan oleh cacing-cacing. Aku bertanya, penggaris menjawab. Aku menyanggah, tangan menari di pipi. Aku melawan, bokong bertemu kaki.
Ratna, kekasihku yang tak pernah menggandengku, juga turut dalam permainan konyol ini. Ia bertanya, pipi disentuh. Ia menolak, mahkota diremas. Ia memukul, rok dibuka. Oh, Ratna. Kau adalah kekasihku. Kau yang kukagumi. Mengapa kau menjadi korbannya? Mengapa kau tidak kabur saja ke sekolah tetangga yang lebih besar bangunannya, yang lebih bagus kursinya, yang lebih bermutu pendidikannya, yang lebih menjunjung moral dan adab?
Percuma aku menulis “PENCARI KEADILAN” di atas batu besar yang sejauh mata mampu memandang. Karna, mata-mata para wakil rakyat dan penegak hukum tidak pernah bisa melihat. Karna mereka buta! Iya, mereka buta! Buta keadilan, buta kejujuran. Mereka hanya membuka mata dengan dolar dan poundsterling! Sedangkan aku hanya punya sepatu butut.
Percuma pula aku berteriak “PENCARI KEADILAN” di depan mereka. Karna mereka semua itu tuli! Iya, mereka tuli! Tuli kejujuran yang dikeluhkan oleh kami, semut kecil. Semut kecil yang lelah membawa beban kehidupan, lelah berjalan di tanah ketidaknyamanan ini.
Ingin sekali aku berjalan ke rumah setelah kabur dari sekolah. Namun, aku tidak mau melihat sakit Ibuku bertambah parah melihat celanaku yang robek. Aku merasa sangat tidak enak jika Ibuku bangun dari tempat tidurnya hanya untuk menjahit celanaku yang robek.
Lebih baik aku ke pasar saja. Mencari ibu-ibu yang membutuhkan tenagaku untuk membawa barangnya. Lumayan. Walaupun sedikit, bisalah untuk membeli nasi campur.
---------
Ternyata posisi matahari sekarang berada tepat di atas Monas, monumen yang sudah hilang jiwanya. Kota menjadi tempat produksi keringat haram dan halal nomor satu di Indonesia. Satu botol teh dingin saja tidak cukup untuk mengurangi kekesalan sekarang ini.
Sebenarnya bukan panasnya Senin hari ini yang aku benci. Aku membenci secarik kertas tak berguna ini. Secarik kertas ijazah SMA serasa seperti kertas bungkus yang ingin aku buang ke tong sampah. Benar apa benakku. Percuma aku menuruti tulisan “belajar sampai sembilan tahun” itu. Rambutku sudah dimakan habis oleh soal-soal yang tak bermutu. Untuk apa soal-soal seperti itu tetap dipertahankan? Untuk memurukkan mental generasi muda? Hah. Benar-benar membosankan. Apakah tidak ada cara lain yang lebih kreatif untuk memelorotkan mental mereka hah?!
Secarik kertas itulah yang membuatku sengsara hingga sekarang. Aku pergi ke pabrik sepatu, dibuang. Aku pergi ke pabrik roti, dibuang. Aku pergi ke lembaga kemanusiaan, dibuang. Sebenarnya mereka tak perlu melirik secarik kertas itu. Sebab, aku tidak ahli dalam itu. Aku ini hanya pintar menyapu, pintar membuat kopi, pintar mengepel, pintar membersihkan jendela. Sekadar itu saja aku bersyukur di atas bumi di bawah langit. Lha kok mereka malahan menendangku karna secari kertas itu. Tcih! Benar-benar tidak punya hati kecil pada yang kecil.
Apa perlu aku kuliah dulu di negeri Cina? Mereka yang berguru di mana-mana dengan mudahnya masuk keluar lewat undangan emas dari tetua pusat pangan manusia. Namun aku bukan mereka! Aku ini hanya mempunyai tas, baju, kutang, celana dalam, celana kain, dan sandal yang satu-satunya harta bagiku. Sedangkan mereka memiliki perunggu, perak, dan emas di tubuhnya. Mereka lebih pandai karna ada tiga unsur itu! Aku membuka pintu kampus sama saja dengan membuka pintu dealer motor. Pendidikan murah? “Aargh! Perutku kok sakit banget?? Jangan-jangan teh botol tadi itu udah kadaluwarsa? “. Tanpa pikir panjang, langsung kumuntahkan isinya di selokan depan rumah wakil rakyat.
---------
Aneh. Benar-benar aneh. Siang tadi, ketika aku sedang gembiranya menonton perawan mandi di kali, seorang lelaki dengan kerudung hitam menyodoriku kartu namanya, lagi, mungkin yang ketiga kalinya. “Bpk. Tarno”. Siapa orang itu? Apa maksudnya tiba-tiba menyodorkan kartu namanya untukku? Yang kutahu ia adalah seorang pimpinan sebuah pabrik bernama “Partai Makmur Sejahtera”. Hanya nama dan alamat pabriknya saja yang terterang di kartu nama. Partai Makmur Sejahtera? Pabrik apa itu? Pabrik jamu? Mana mungkin aku bekerja di pabrik jamu. Aku ini kan seorang lelaki perkasa. Masak aku disuruh jadi tukang jamu? Hah! Jangan sampai aku tertipu oleh bangkotan tak berguna itu. Jangan sampai aku seperti yang lain yang mau saja dibawa dengan angin puting rayuan.
Tapi ini sudah yang ketiga kalinya ia menyodoriku kartu nama itu. Sebenarnya tanganku risih juga ketika dipaksa menerima kartu itu. Mengapa aku harus menerimanya? Dalam hak apa ia memberiku kartu nama itu?
Partai Makmur Sejahtera. Sebentar. Kata “partai” itu sepertinya tidak asing lagi bagiku. Partai. P-A-R-T-A-I. Ah! Aku ingat. Kerap kali aku melihat kata partai di TPA, Tempat Pembuangan Akhir, di mana tempatku untuk tidur setelah Ibu meninggal. Banyak sekali kaos sobek, kertas-kertas, poster yang bertuliskan “partai” dengan gambar lelaki di atasnya. Aku masih ingat sekali. Aku terperanjat ketika melihat gambar lelaki itu. Wajah lelaki itu sangat menyeramkan! Layaknya serigala yang siap menerkam mangsanya.
Hii! Apakah Pak Tarno adalah serigala itu juga? Apakah aku akan menjadi korban berikutnya? Apakah aku akan menjadi mainan imajinatifnya? Jangan-jangan aku malah akan menjadi keset ketika ia datang dan pergi seenaknya dari luar negeri? Ah. Mikir apa aku ini? Kok ngelantur.
Lho. Bangkotan Tarno itu kembali lagi. Mau ngapain dia? Kalau sampai memberiku kartu nama lagi, akan kugergaji tangannya agar berhenti melakukan tindakan bodoh. Tiba-tiba ia menepuk pundakku dan mengatakan dalam 5 detik, “Saya tunggu!”.
---------
Pak Tarno adalah dewa penyelamatku. Segalanya menjadi tercapai. Nasi campur sudah kubuang ke sampah. Steak sapi menemaniku hingga tertidur. Perisai manusia-manusia itu selalu di sampingku ketika aku sedang membuang hajat di sungai pemukiman. Susu Meksiko kini dengan mudah kusedot langsung dari puting sapinya. Hidup betapa nikmat dari emas hingga wanita.
Aku yang sekarang dipandang terhormat oleh semut-semut kecil. Tak ada yang mendongakkan kepalanya untukku. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku bisa menaikkan nasi menjadi aking. Aku bisa merubah pohon beringin menjadi ruko mewah. Aku bisa membuat mereka merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Mereka tak mampu untuk menduduki bangku kuliah.
Tikus-tikus menjadi naik derajatnya. Tikus kini merupakan hewan termahal di dunia. Aku sebagai pemilik sarang diwajibkan dalam kode etik untuk melestarikannya hingga anak cucu kelak. Inilah tradisi baru yang terciptakan dalam abad 21. Tikus adalah raja di atas singa.
Tak perduli ribuan pejuang yang merobek gerbang emas singgasanaku. Toh aku memiliki pion-pion kuda yang siap menghajar mereka. Dan dengan nikmatnya pula aku menghisap cerutu emas di balik pintu. Bapa negara hanya bisa membuka kedua tangannya di depan mikrofon televisi. Oleh karna itu, mengapa aku harus khawatir dan was-was? Toh hukum ini adalah kapas yang mudah ditembus dengan daun hijau emas.
---------
Biru, hitam kelam, ungu, kuning lendir, semuanya menjadi satu dalam wajah ini. Rumahku entah dilahap oleh bara yang membara karna semut-semut itu. Emasku, perakku, perungguku hilang terkikis garukan-garukan tangan mereka yang kecil hitam. Semuanya musnah hanya dalam kedipan mata. Pak Tarno bukanlah dewa penyelematku. Ia adalah dewa keterpurukan yang memainkanku dengan riang gembira.
Jeruji besi hitam yang kubenci menjadi kamar termewah yang pernah kurasakan sekarang ini. Tak ada lagi perisai yang menemani tidurku. Aku tahu suatu saat akan menghirup cerutu emas di Eropa sana. Suatu saat itu akan datang. Sebentar lagi. Sebentar lagi.
---------
Mengapa aku selalu seberuntung ini? Betapa bahagianya aku terlahir di bumi ini. Hukum ini adalah kapas yang mudah ditembus dengan daun hijau emas. Tak perlu aku membuang tenagaku untuk membobol jeruji busuk itu. Semua terbuka dengan apa yang ada dalam kantong jasku ini. Lihatlah. Aku menghisap cerutu emas bersama teman-teman penegak hukum yang pintar dan dungu.
Tcih! Bapa negara itu ternyata tidak setegap yang kulihat di layar. Ternyata dia hanya berukuran satu jentik. Ya! Satu jentik tanganku ini! Hah, dengan kaki saja sudah bisa kutendang dia hingga menangis teraung-raung. Heran. Untunglah aku tidak seperti semut kecil itu yang masih mau saja memilih memilih memilih memilih memilih memilih.
Seharusnya semut-semut kecil itu meniru aku yang beruntung ini. Aku adalah lelaki yang sudah muak menaiki kapalnya terombang-ambing antara impian dan harapan. Untuk apa aku menjalankan semua yang tertulis dalam rumusan wakil rakyat. Peraturan ada untuk dilanggar! Lagipula rumusan tertulis itu hanyalah tertulis. Bukan terstempel di jidat dan hati mereka.
Sudahlah. Tak perlu pikir panjang lagi. Ambillah jalan tikus untuk melalui tujuanmu. Akulah salah satu pemenangnya. Aku bisa melihat Paris, London, Washington, hingga Tokyo dengan sebelah mata saja.
---------
“Berita hari ini. Telah berpulang ke Rahmatullah Bapak Titus pada dini hari di negeri Impian. Diduga kematian ini disebabkan karena overdosis. Tidak ada saksi mata pada kematian ini. Barang bukti obat-obatan tidak ditemukan. Namun yang ditemukan adalah gerombolan mayat tikus dan foto, yang diduga Ibu dari Bapak Titus, di samping mayat.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar