KEGAGAPAN SARJANA
INTELEKTUAL
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Ce ce ce cenat cenuuut
Ce ce ce cenat cenuuut ….
(lagu bibir dower – sm#sh)
Ketika saya sedang berteduh di bawah atap teras rumah
orang karna menunggu hujan reda, saya mendengar lagu Bibir Dower dimainkan
dengan keras. Saya pun mencari sumber suara itu. Ternyata, lagu itu mengalir
dari handphone pemuda yang sedang nongkrong di gardu pos kamling sebelah. Saya
pun berinisiatif untuk berteduh di gardu pos kamling itu, sembari menunggu
hujan yang kian deras. Dengan lekas, tas kerja saya jadikan payung sementara,
kemudian saya berlari ke gardu tersebut dan duduk di pinggir.
Ketika saya melihat ke belakang, saya melihat pemuda
itu, teman-temannya, gitar, beberapa cangkir, termos, kopi bubuk, gula, dan
kartu. Sepertinya mereka sedang asyik nongkrong di gardu pos kamling ini. Tak
lupa saya menganggukkan kepala dan tersenyum kepada sambil berkata, “Numpang
berteduh Bang!”. Pemuda itu pun menjawab, “Okeh!”. Sementara lagu Bibir
Dower it terus diputar, pemuda itu menyanyikan lagu tersebut dengan menirukan
gaya khas Azis OVJ yang gagap. Mungkin karna lucunya dia menirukan Azis, teman-temannya
tertawa menggelagar di derasnya hujan. Saya hanya bisa tersenyum tanpa
memandang mereka. Tiba-tiba, pemuda itu menepuk pundak saya sambil membawa
gelas, “Kopi?”. Saya, yang pada dasarnya tidak biasa minum kopi, menolaknya
sehalus mungkin dengan tangan saya, “Makasih Bang.”. Hening sejenak ia bertanya
kepada saya, “Orang kantoran ya mas?”. Saya hanya mengangguk. “Kantor mana mas?
Kantor pajak? Kantor pos? Kantor bank? Atau Kantor presiden?”. Saya menjawab
bahwa saya bekerja di kantor periklanan. Kemudian keheningan muncul lagi.
Namun, beberapa saat kemudian pemuda itu bertanya kepada saya lagi, “Kalo
kerjaan buat lulusan s1 manajemen kayak gua ini ada gak ya?”. Dan
perbincangan yang tiba-tiba menjadi pemikiran untuk saya pun dimulai dari hujan
yang deras itu.
Sempat saya berpikir bahwa kemahirannya dalam
menirukan kegagapan bernyanyi seperti Azis adalah bakatnya, karena ia juga
gagap dalam pekerjaan. Ya, gagap, dalam zaman yang semakin canggih ini, tidak
hanya dimiliki oleh sebuah penyakit, yaitu penyakit gagap. Gagap tidak hanya
dimiliki oleh teknologi, yaitu gagap teknologi. Gagap juga menjadi istilah dalam dunia pekerjaan.
Pada dasarnya, gagap adalah kelainan wicara berupa
pengulangan konsonan dan suku kata secara spasmodis yang disebabkan oleh gangguan
psikofisiologis dan lebih banyak terjadi pada pria. Namun, seiring canggihnya
teknologi yang muncul, istilah gagap diberikan kepada orang-orang yang tidak
mahir dalam menggunakan teknologi tersebut. Oleh karna itu, muncullah istilah
gagap teknologi. Jika melihat istilah tersebut, maka gagap dapat pula digunakan
pada istilah pekerjaan, yaitu gagap pekerjaan. Gagap pekerjaan ini diberikan
kepada lulusan sarjana yang masih kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan.
Tidak sedikit lulusan sarjana yang mengalami gagap
pekerjaan ini. Riset membuktikan bahwa gagap pekerjaan yang dialami lulusan
sarjana ini mengalami kenaikan sebanyak 20% per tahun. Hal itu disebabkan
rendahnya soft-skill atau keterampilan di luar kemampuan kompetensi
utama para sarjana. Jika melihat kasus tersebut, maka bisa dikatakan bahwa
kualitas Sumber Daya Manusia yang dihasilkan (SDM) belum mencapai kata bagus. Soft-skill
ini tidak didapatkan ketika para sarjana fokus kepada kognitif di perguruan
tinggi.
Pernah pula ditemukan satu kasus dimana pelamar
sarjana informatika universitas swasta ternama melamar suatu pekerjaan di
kantor konsultan web. Singkat cerita, ia dikategorikan lolos tahap pertama dan
diwajibkan untuk mengikuti tes tulis di kantor. Ketika mengerjakan soal, ia
terlihat celingak-celinguk kanan kiri. Kemudian, ia bertanya kepada petugas,
“Pak, boleh tidak kalau soal ini saya bawa pulang, saya kerjakan di rumah?”.
Terang saja permintaan pelamar itu ditolak oleh petugas. Contoh ini merupakan
satu dari sekian masalah yang mencerminkan bahwa sarjana intelektual belum
mampu menghadapi dunia pekerjaan.
Sarjana yang mengalami gagap pekerjaan ini mengalami
ketidaksiapan mental dalam menghadapi dunia kerja. Tidak siapnya mereka
disebabkan oleh kurang pendidikan dalam memberi ilmu lapangan kerja. Pendidikan
yang diberikan hanya berupa teori-teori yang harus dipahami peserta didik.
Memang teori-teori tersebut haruslah/ sangat penting dipelajari oleh peserta
didik, namun pengetahuan/ kreativitas mengenai lapangan kerja, penyiapan peserta
didik dalam dunia kerja juga harus diberikan pada peserta didik.
Sayangnya, jenjang pendidikan sarjana di Indonesia
kurang menyentuh pelajaran khusus mengenai aspek kognitif dan psikomotorik yang
menjadi syarat semua pendidikan. Pembelajaran yang diterapkan adalah
pembelajaran yang hanya memberikan tugas untuk menjawab materi soal ujian
semata tanpa memahami ilmunya. Mereka cenderung belajar menghafal teks sehingga
pemahaman yang didapat cenderung text book, bukan secara mendalam. Lebih
lagi, kondisi ini diperparah dengan pola piker sarjana yang kebanyakan menempuh
studi dengan tujuan mendapatkan ijazah.
Pada dasarnya, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Seorang pendidik haruslah membimbing dan memfasilitasi peserta didik untuk
berkembang sesuai dengan kemampuan yang peserta didik miliki. Selain itu, tugas
pendidika juga harus mengarahkan kemampuan positif yang peserta didik miliki
menjadi bekal dalam dirinya untuk dunia kerja kelak ia lulus.
Tentu saja bekal tersebut harus dilandasai dengan
sikap, akhlak, dan norma yang berlaku. Karna, pada dasarnya pendidikan bukanlah
sebuah praktek saja, melainkan praktek yang berlandasan bertujuan filosofis
normatif. Filosofis adalah kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan
universal tentang ciri hakikat manusia untuk mendapatkan landasan yang kukuh.
Normatif berarti pendidikan mempunyai tugas sebagai sesuatu yang bernilai
luhur.
Fenomena kegagapan sarjana intelektual ini harus segera dibenahi. Kesadaran untuk membenahi ini harus datang dari pemerintah, pendidik, juga peserta didik. Masing-masing memiliki tugas yang sama pentingnya, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia. Oleh karna itu, hakikat pendidikan yang sebenar-benarnya harus diterapkan. Sehingga di saat lulus nantinya sarjana intelektual tidak akan terkena penyakit gagap pekerjaan. Dengan bebasnya dari penyakit gagap pekerjaan, maka tidak akan ada pe.. pe.. pe.. pengangguran in.. in.. in.. intelektual, namun yang akan muncul adalah pemimpin generasi bangsa Indonesia!
Fenomena kegagapan sarjana intelektual ini harus segera dibenahi. Kesadaran untuk membenahi ini harus datang dari pemerintah, pendidik, juga peserta didik. Masing-masing memiliki tugas yang sama pentingnya, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia. Oleh karna itu, hakikat pendidikan yang sebenar-benarnya harus diterapkan. Sehingga di saat lulus nantinya sarjana intelektual tidak akan terkena penyakit gagap pekerjaan. Dengan bebasnya dari penyakit gagap pekerjaan, maka tidak akan ada pe.. pe.. pe.. pengangguran in.. in.. in.. intelektual, namun yang akan muncul adalah pemimpin generasi bangsa Indonesia!
Setuju :)
BalasHapus