Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang
…
Aku melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan
terbangun karena kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada
azan. Tak ada kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio
tukang susu. Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku
tertatih keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang
separuh terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan
di udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya.
…
Kutipan di atas
merupakan penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian. Pada
Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian merupakan buah karya dari Arvianti Armand. Cerpen
ini sendiri diterbitkan pertama kali di koran Kompas Minggu. Arvianti Armand
merupakan nama baru dalam dunia sastra ketika ia menerbitkan cerpennya ini. Walaupun
begitu, cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik, yang pada akhirnya dibukukan
dalam Antologi Cerpen Kompas Pilihan Tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan tragedi kekerasan yang
dialami seorang Ibu karena suaminya, dimana anaknya yang bernama Radian menjadi
saksi mata. Memang, tidak heran jika cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik
kompas tahun 2009. Cerpen ini memiliki berbagai macam keunikan dalam
penceritaannya. Salah satu keunikan itu terdapat pada unsur sudut
pandangnya. Sudut pandang yang digunakan terdapat dua, yaitu sudut pandang
pertama (tokoh Ibu) dan sudut pandang
ketiga (penulis).
Apa definisi dari
sudut pandang itu sendiri? Sudut pandang merupakan salah satu unsur intrinsik
selain tema, latar, pesan, penokohan, alur yang membuat cerpen menjadi utuh. Sudut
pandang merupakan cara pandang pengarang yang bercerita dengan menempatkan
pengarang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, atau bahkan orang
yang ada di luar cerpen itu sendiri (Prabowo, 2011). Unsur ini tidak
bisa dianggap remeh karena pemilihan sudut pandang juga tidak hanya akan
mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempengaruhi alur cerita.
Menurut Friedman sendiri (Prabowo, 2011), sudut pandang
secara garis besar terdapat dua macam, yaitu sudut pandang orang pertama
dan sudut pandang orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang
menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama.
Melalui tokoh “aku” inilah pengarang mengisahkan peristiwa atau tindakan dengan
kesadaran dirinya sendiri. Tokoh “aku” menjadi narator sekaligus pusat
penceritaan. Sedangkan dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menempatkan
dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam
cerita. Dalam sudut pandang ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut namanya atau kata gantinya “dia” atau “ia”.
Sebenarnya, bagaimana
keunikan sudut pandang cerpen Pada Suatu
Hari Ada Ibu dan Radian ini? Berikut akan saya kutipkan lagi satu penggalan
cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian.
…
Pisau itu jatuh terlepas
dari genggaman. Perempuan itu jatuh terduduk di lantai dapur. Tenaga telah
dikuras keluar. Habis. Air mata telah dikuras keluar. Habis. Kini ia terlongong
kosong. Anak lelaki itu mendekat, lalu duduk merapat padanya. Ia menyandarkan
kepalanya di bahu perempuan itu. Ibu, bisiknya.
Kalau kita mati, kita pergi
ke mana? Aku mengangkat bahu. Tak tahu. Radian kembali menekuri gambarnya.
Apakah kamu mencintai ayah? Aku mengangkat bahu lagi. Tak tahu. Yang kutahu,
aku mencintaimu. Radian tersenyum tanpa mengangkat kepala. Apakah aku
mencintainya? Aku tidak ingat.
…
Ketika membaca
penggalan cerpen di atas, pembaca secara tidak sadar dibawa penulis untuk
berpindah sudut pandang cerita. Pada kalimat Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman hingga kalimat Ia
menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu, penulis menggunakan sudut
pandang ketiga. Sudut pandang ketiga ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan itu. Namun, pada paragraf
berikutnya yang dibuka dengan kalimat Kalau
kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu sudut pandang cerita
berubah menjadi sudut pandang pertama. Sudut pandang pertama itu ditunjukkan
pada penggunaan kata aku.
Berikut contoh lain dari penggunaan sudut pandang
yang berubah-ubah ini.
...
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu.
Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali
dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan
lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian
dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang
kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku
tak sanggup menelannya.
...
Pada paragraf yang
dimulai dengan kata Jendela tersebut,
penulis menggunakan sudut pandang ketiga dalam penceritaannya. Sudut pandang
ketiga itu ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan
itu. Sedangkan, pada paragraf berikutnya yang dimulai dengan kata Aku, penulis berganti penggunaan sudut
pandang menjadi sudut pandang pertama. Penulis menggunakan kata aku sebagai sudut pandang pertama dalam
penceritaannya.
Begitulah penulisan sudut pandang dalam cerita Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian ini,
yaitu berubah-ubah. Perubahan sudut pandang ini terlihat mencolok karena
penggunaan kata aku dan perempuan itu yang saling bergantian sebagai
sudut pandang cerita. Jelaslah bahwa penggunaan dua sudut pandang ini
mempengaruhi penyajian cerita. Namun, perubahan sudut pandang ini tidak
mempengaruhi alur cerita. Mengapa demikian? Karena dalam cerita ini, sudut
pandang ketiga (perempuan itu) adalah
sudut pandang dari aku, yaitu tokoh
Ibu. Sudut pandang ketiga itu bukanlah sudut pandang penulis. Pernyataan ini
terkuak dari penggalan cerpen Pada Suatu
Hari, Ada Ibu dan Radian di bawah ini
...
Malam terasa berat, tapi sinar bulan cukup untuk
meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang
tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Aku tidak mengenalinya. Wajah itu
bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia
sembab dan biru. Mungkin lelah. Atau putus asa. Tapi jelas ia marah. Kemarahan
membayang seperti sayap-sayap hitam seekor gagak, menyambar dan mencakar-cakar
wajah itu, meninggalkan kerut-kerut yang dalam.
...
Kalimat yang menunjukkan bahwa sudut pandang ketiga perempuan itu merupakan sudut pandang
yang sama dengan Ibu dan bukanlah
sudut pandang penulis adalah Perempuan
dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di
tubuhnya, bertutur. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut, Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan
wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan
biru.
Dari penggalan di atas, dapat diketahui bahwa sudut
pandang ketiga perempuan itu bukanlah
sudut pandang penulis yang berada di luar cerita atau tidak terlibat dalam
cerita. Sudut pandang ketiga tersebut merupakan sisi lain dari tokoh Ibu. Yang
dimaksud sisi lainnya adalah bayangan tokoh Ibu dalam cermin. Ketika tokoh Ibu
melihat bayangannya sendiri, ia merasa benci dan tidak suka dengan bayangan
itu. Sehingga, ia memberi julukan perempuan
itu kepada bayangannya sendiri. Frasa perempuan
itu-lah yang dijadikan sudut pandang ketiga dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini.
Secara teori, frasa perempuan itu sah-sah saja menjadi frasa sudut pandang ketiga, walaupun
makna dari “perempuan itu” adalah sisi
lain dari tokoh Ibu. Hal ini disebabkan frasa tersebut menjadi subjek yang
menceritakan peristiwa demi peristiwa dalam cerpen. Selain itu, tidak
digunakannya kata aku sebagai subjek
pencerita sudah jelas menunjukkan bahwa penulis menggunakan jenis sudut pandang
lain dalam cerpen ini. Jenis sudut pandang lain itu tidak lain adalah sudut
pandang ketiga. Sudut pandang ketiga dalam cerpen ini adalah sudut pandang
ketiga terbatas. Artinya pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar,
dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh satu tokoh, yaitu Ibu. Namun, apa
sebenarnya pengaruh penggunaan sudut pandang macam itu?
Penggunaan model sudut pandang dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini menjadi kekuatan tersendiri, karena
sudut pandang ini dapat mendukung atau memperkuat karakter tokoh Ibu. Tokoh Ibu
dalam cerpen ini dijelaskan sebagai Ibu yang mengalami kompleksitas emosi.
Kompleksitas ini tumbuh dari kekerasan rumah tangga yang dialami, masa lalu
yang tidak bahagia, dan kesedihan serta kekhawatiran terhadap Radian juga
gambar-gambar buatannya. Selain faktor dari luar, tokoh Ibu juga mengalami
kompleksitas emosi dari diri sendiri. Dalam cerpen ini, dijelaskan bahwa tokoh
Ibu sendiri sebenarnya kecewa dengan dirinya sendiri yang selalu menjadi korban
kekerasan. Kekecawaan itulah yang ia ungkapkan melalui sisi lain, yaitu perempuan itu. Secara tidak langsung,
perubahan sudut pandang itu dapat menggambarkan emosi tokoh Ibu yang naik turun
sehingga pemaknaan karakter serta konfliknya dapat terasa lebih mendalam. Berikut
penggalan cerpen yang menggambarkan kompleksitas emosi tersebut.
...
Perempuan itu menunjukkan
gambar tadi pada suaminya saat makan malam. Kepala sekolah menunjukkan gambar
itu padanya tadi pagi. Gambar Radian. Lelaki itu tak berkata sepatah pun. Ia hanya
menggebrak meja, mengambil piring, dan melemparkannya. Tepat ke muka. Ia
tercekat. Rasa sakit nyaris meledakkan kepala. Ia menelannya. Kemarahan
menyergap seketika. Ia menelannya. Suara piring yang pecah memekakkan telinga.
Anak lelakinya keluar dari kamar dan terdiam di pintu, tidak lagi heran ketika
ayahnya pergi.
Jendela kaca memantulkan
gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke
dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi
untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut
gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya
mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh
darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
Aku tidak lapar, Ibu. Anak
lelaki itu ketakutan. Tapi perempuan itu tetap berjalan ke dapur. Ia tidak
membuka lemari pendingin, tidak meletakkan panci di atas api. Ia cuma mengambil
pisau dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali. Matanya menatap ke
depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan gerakan
memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang mungkin hanya ada di
kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat. Keringat turun berbulir-bulir dari
dahinya. Air turun berbulir-bulir dari matanya. Anak lelaki itu tak berani
mendekat. Ia cuma menatap punggung ibunya yang berguncang keras. Sesuatu dari
dalam telah merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak mengenalinya
lagi. Aku tak mengenalinya lagi.
...
Memang pada umumnya, cerpen menggunakan satu
sudut pandang dengan asumsi agar tidak membingungkan cerita itu sendiri. Namun,
tidak pada cerpen Pada Suatu Hari, Ada
Ibu dan Radian ini. Justru unsur sudut pandang dimanfaatkan, bahkan
dibelokkan sedikit, untuk mendukung unsur-unsur lainnya dalam cerpen. Hasilnya,
pemanfaatan dan pembelokan itu dapat menciptakan serta mendukung kekuatan tema
cerita, tokoh juga perwatakan tokoh Ibu. Toh
pemanfaatan dan pembelokan itu merupakan hal yang lumrah. Selama tidak keluar terlalu
jauh dari teori dasar dan bertujuan untuk menguatkan keutuhan cerpen, tidak ada
salahnya untuk bermain-main dan berkreatifitas setinggi mungkin untuk mengotak-atik
unsur-unsur cerpen yang ada.