Dalam berkomunikasi, penutur asli memerlukan
perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan
artikulasinya. Proses mental ini menyangkut berbagai aspek. Aspek pertama
berkaitan dengan asumsi tentang pengetahuian interlokutor (orang yang diajak
bicara). Suatu kalimat tidak akan mempunyai makna apa-apa bagi pendengar bila
semua informasi yang ada di dalamnya adalah informasi baru.
Aspek kedua adalah prinsip kooperatif. Penutur
harus memberikan informasi yang pas, jelas, benar, tidak ambigu, dan
sebagainya. Tanpa aturan “lalu lintas” seperti ini pastilah akan terjadi
ketidakserasian. Di samping itu, penutur juga harus memperhatikan aspek
pragmatik ujarannya. Contohnya bahasa penutur etnik Jawa. Kalimat “Ibu arep
tindak endi?” (Ibu mau pergi ke mana?) bermakna lebih benar dan terterima bila
diucapkan oleh anak kepada ibu. Namun, kalimat Ibu arep lungo endi?” (Ibu mau
pergi ke mana?) akan bermakna tidak benar dan tidak terterima bila diucapkan oleh
anak kepada ibunya.
Proses dalam ujaran dibagi menjadi empat
tingkat, yaitu (1) tingkat pesan dimana pesan yang akan disampaikan diproses,
(2) tingkat fungsional dimana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan
fungsi sintaktik, (3) tingkat posisional dimana konstituen dibentuk dan
afiksasi dilakukan, dan (4) tingkat fonologi.
Pada tingkat pesan, penutur mengumpulkan
nosi-nosi dari makna yang ingin disampaikan. Contohnya pada kalimat Tutik sedang menyuapi anaknya. Nosi-nosi
yang ada pada benak penutur adalah (a) adanya seseorang, (b) orang ini wanita,
(c) dia sudah nikah, (d) dia punya anak, (e) dia sedang melakukan suatu
perbuatan, (f) perbuatan itu adalah memberi makan pada anaknya.
Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua
hal. Pertama, memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan
disampaikan dan informasi gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal
tersebut. Pada kalimat di atas, kata Tutik
merupakan nama perempuan yang dikenal yang digunakan sebagai pelaku perbuatan,
perbuatan yang dilakukan menggunakan verba suap,
anaknya merupakan resipien. Proses kedua adalah memberikan fungsi pada
kata-kata yang telah dipilih ini. Proses di sini menyangkut hubungan sintaktik
atau fungsi gramatikal. Kata Tutik
menjadi fungsi subjek, kata anaknya
menduduki fungsi objek.
Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan
bentuk leksikal untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan
berdasarkan pada jajaran yang linier, tetapi pada kesatuan makna yang
hierarkis. Pada contoh kalimat, kata sedang
bertautan dengan menyuapi. Begitu
juga dengan –nya bertautan dengan
anak. Setelah pengurutan selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Contohnya
pada verba suap harus ditambah dengan
sufiks –i.
Pada tingkat terakhir, yaitu tingkat fonologi,
menerapkan aturan fonototik bahasa yang bersangkutan. Kata Tutik mengikuti aturan fonotatik Bahasa Indonesia, namun Ktuiek tidak. Proses fonologis ini tidak
sederhana karena tersangkut proses biologis dan neurologis.
Berikut akan digambarkan bagan dari proses
produksi ujaran
Wacana
Perencanaan Kalimat
Konstituen
Produksi
Program
artikulasi
Pelaksanaan
Artikulasi
Dalam produksi wacana terdapat dua jenis,
yaitu produksi wacana dialog dan monolog. Dalam proses produksi wacana dialog
terdapat empat unsur, yaitu (1) personalia, (2) latar bersama, (3) perbuatan
bersama, dan (4) konstribusi. Pada unsur personalia, minimal harus ada dua
partisipan, yakni pembicara dan interlokutor. Unsur latar bersama merujuk pada
anggapan bahwa baik pembicara maupun iterlokutornya sama-sama memiliki
prasuposisi dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam pengetahuan inilah yang
dinamakan latar bersama.
Unsur perbuatan bersama adalah bahwa baik
pembicara maupun interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya
mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Suatu percakapan memiliki tiga
struktur, yaitu pembukaan, isi, dan penutup. Pada pembukaan, harus ada ajakan
dan respon. Tanpa respon, suatu percakapan tidak mungkin akan berlanjut. Pada
isi, kedua pembicara harus memiliki pengetahuan dan latar yang sama. Dalam
penutup, kedua pembicara harus menyelesaikan topic trakhir, sama-sama bersedia
untuk mengakhiri percakapan. Tanpa urutan ini, satu pihak bisa merasa
tersinggung karena dia mempunyai percakapan yang diputus.
Dalam sebuah percakapan terdapat relevansi
kondisional. Relevansi kondisional adalah kalimat-kalimat yang mempunyai ketertarikan
makna. Bila dalam suatu percakapan relevansi kondisional tidak dipenuhi, maka
terdapat kesalahan dalam komunikasi tersebut. Kesalahan ini dapat terjadi
karena adanya kalimat atau pasangan lain yang menyelanya. Unsur konstribusi
memiliki dua tahapan, yaitu (a) tahap presentasi dimana pembicara menyampaikan
sesuatu untuk dipahami interlokutor dan (b) tahap pemahaman dimana interlokutor
memahami apa yang disampaikan pembicara.
Percakapan memiliki struktur atau aturan.
Struktur percakapan antara pembicara dan interlokutor biasanya saling
bergantian ketika hendak berbicara. Dua personalia tersebut memahami hak
masing-masing ketika hendak berbicara, berapa lama menunggu untuk menjawab, kapan
untuk diam, dan kapan harus bicara. Menurut Beattie dan Barnard (1972), jarak
antara pembicara berhenti dan interlokutor menjawab atau menanggapi adalah 0,2
detik. Aturan yang dikemukakan Sacks dkk (1974) adalah bahwa orang tidak selalu
menunggu giliran untuk berbicara. Interlokutor dapat mengisi kata yang
pembicara lupa. Dalam percakapan tatap muka, bisa saja tanda giliran itu berupa
anggukan, gelengan kepala, atau lirikan mata, dan sebagainya.
Dalam wacana monolog, partisipannya hanya satu
orang. Orang tersebut mengiuti pola narasi tertentu ketika bermonolog. Faktor-faktor
yang harus diperhatikan pembicara dalam bermonolog adalah faktor memilah
informasi, merinci kata-kata, urutan penyajian, dan hubungan antara
unsur-unsur. Dari segi informasi yang akan diberikan, orang memilah-milah mana
yang layak dimasukkan dan mana yang tidak. Selain memilah-milah, pembicara juga
harus menentukan serinci mungkin ide apa yang ingin dikatakan. Faktor lainnya
adalah urutan penyajian. Dalam bermonolog, pembicara harus mengatakan pesannya
sesuai dengan urutannya. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur
dengan unsur yang lain. Contohnya adalah dalam kunjungan ke Bogor apa hubungan
antara Kebun Raya, dengan kunjjungan ke sana.
Setelah mengetahui pesan-pesan yang ingin
dikatakan, maka proses berikutnya adalah perencanaan produksi kalimat. Terdapat
tiga kategori yang perlu diproses, yaitu muatan proposisional, muatan
ilukosioner, dan struktur tematik.
Pada kategori muatan proposisional, pembicara
menentukan proposisi apa yang ingin dinyatakan. Dalam proses ini, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah pemilahan peristiwa atau
keadaan. Setelah muatan proposisional ditentukan, pembicara menentukan
ilokusionernya, yakni makna yang akan disampaikan itu diwujudkan dalam kalimat yang
seperti apa. Di sini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat dinyatakan
dengan kalimat representatif atau
kalimat direktif. Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk mengungkapkan
apa yang ingin disampaikan. Pemilihan cara mengungkapkan tersebut bergantung
pada kedudukan sosial, perbedaan umur, hubungan kekerabtan, dan derajat
keakraban antara pembicara dengan interlokutornya. Kategori ketiga adalah
struktur tematik. Struktur termatik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur
yang dihubungkan dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara
menentukan mana yang dijadikan subjek atau objek.
Setelah perencanaan kalimat, tahapan
berikutnya adalah perencanaan produksi konstituen. Pada tahapan ini, pembicara
memilih kata yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki. Pemilihan kata
kadang-kadang ditentukan oleh prinsipel keberadaan. Bila ada dua referen atau
lebih yang wujud fisiknya berbeda, maka permbicara akan memilih kata yang fitur
semantiknya membedakan kedua benda tersebut. Selain itu, pembicara juga
cenderung untuk memilih kata yang memiliki derajat kemanfaatan yang optimal.
Pemilihan kata ganti pronomina juga menjadi pertimbangan pembicara dalam
memilih kata. Pemilihan pronomina ini mempertimbangkan faktor kedudukan sosial,
umur, hubungan kekerabatan, dan keakraban.
Suatu kata dapat diproduksi hanya bila telah ada
komprehensi sebelumya. Karena itu, masalah produksi tidak dapat dilepaskan dari
komprehensi. Pada komprehensi orang menerima input untuk kemudian disimpan
dalam memori. Pada produksi kata yang tersimpan itu dicari kembali untuk
kemudian diujarkan. Untuk mencari kata itu tentunya diperlukan proses
eliminatif dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata itu, baik fitur semantik,
sintaktik, maupun fonologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar