Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Senin, 03 Oktober 2011

METODE KRITIK SASTRA ALIRAN RAWAMANGUN

Awal Lahirnya Metode Kritik Sastra Rawamangun
Nama metode kritik sastra Rawamangun di proklamasikan pertama kali oleh kelompok yang beranggotakan M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Oemarjati, dan M. Saleh Saad. Dapat dikatakan merekalah yang menjadi ‘tokoh utama’. Metode kritik sastra Rawamangun diproklamasikan oleh para tokoh utama pada tahun 1975 dan saat itu kritik sastra akademik sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kritik sastra akademik biasanya dilakukan oleh kalangan akademisi, misalnya sarjana sastra, ahli sastra, atau para calon sarjana sastra. Sedangkan tokoh pemakarsa metode Rawamangun ini merupakan sarjana sastra Universitas Indonesia.
Nama Rawamangun di ambil dari nama daerah lokasi kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga bernama Rawamangun. Tentu saja, di bawah naungan sebuah nama aliran itu, kritik sastra yang para anggotanya berasal dari kampus tersebut menunjukkan persamaan, baik praktik kritik maupun teori kritik sastranya. Berdasarkan informasi yang di dapat dari Pradopo (2002:215) menjelaskan bahwa tulisan mereka berupa kritik terapan yang pada umumnya berupa skripsi, tesis sarjana, dan disertasi. Kritik terapan itu berupa penerapan teori kritik sastra. Oleh karena itu, dari kritik terapan mereka dapat dilihat dasar teorinya. Di antara mereka, Saleh Saad lah yang tulisannya banyak mengemukakan teori sastra selain M.S. Hutagalung.

Teori Kritik Sastra Kelompok Kritikus Sastra Aliran Rawamangun
Kritik sastra Rawamangun ini keilmiahannya tampak dalam sistematika dan penggunaan metode yang ilmiah. Untuk mendukung pendapat mereka, pada umumnya mereka mereka berlandaskan pada teori-teori (kritik) sastra para ahli sastra yang berhubungan. Kelompok Rawamangun dapat dimasukkan ke pendekatan objektif (Suyitno, 2009:21). Mereka mengutamakan karya sastranya sendiri sebagai objek penelitian. Pradopo (2002:215) menyebutkan bahwa prinsip objektivitas kritik sastra dikemukakan oleh Hutagalung dalam esainya ‘Kritik Sastra Aliran Rawamangun’ pada tahun 1975, ‘Prinsip pertama aliran Rawamangun, pusat perhatian peneliti sastra adalah karya sastranya sendiri’ (1975:18). Selain Hutagalung, Saleh Saad juga menyatakan bahwa peneliti harus bertolak dari eksistensi karya sastra itu sendiri dan Nasution yang menyatakan bahwa mengkaji sastra seperti membagi periode kesusastraan, hendaklah didasarkan pada karya sastra, janganlah didasarkan kepada soal-soal di luar sastra seperti soal-soal masyarakat dan politik.
Disamping teori kritik objektif, metode kritik Rawamangun ini juga menggunakan teori kritik ekspresif dan mimetik, bahkan juga teori kritik pragmatik. Penggunaan teori yang terlihat bercampur-campur itu yang menunjukkan mereka belum sadar akan ketaatasasan penelitian secara ilmiah. Contohnya J.U. Nasution mengkritik sajak-sajak Sitor Situmorang dan membicarakan juga sajak penyair lain. Cara menganalisi sajak seperti itu berarti juga menganalisis manusia yang melahirkan karya tersebut. Nasution belum mempergunakan teori secara taat asas karena Nasution menggunakan teori kritik sastra ekspresif yang menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya.
Contoh lainnya adalah saat Oemarjati mengkritik Atheis karya achdiat K. Mihardja dengan mencampurkan teori-teori yang dasarnya merupakan orientasi ekspresif, pragmatik, dan mimetik. Oemardjati mengkaji suatu karya sastra dengan melihat riwayat penulis (ekspresif), menilai karya sastra sesuai dengan tanggapan masyarakat (pragmatik), dan ia mengutip pendapat Hudson yang bersifat mimetik yang menyatakan bahwa sebuah roman barulah besar bila roman itu meletakkan landasan-landasan luas dan mendalam (terutama) dalam hal-hal yang secara paling konstan dan bersugguh-sungguh dapat diterima bersama sebagai ada di dalam pertarungan kemanusiaan.
Berdasarkan teori-teori itu ia menguraikan latar belakang sejarah dan kemasyarakatan Atheis, biografi pengarang, terutama sekitar penciptaan Atheis. Begitu pula, secara pragmatik dalam sebuah bab ia menguraikan sambutan masyarakat terhadap Atheis. Percampuran bermacam-macam teori dan orientasi (yang kadang-kadang saling bertentangan) digabung-gabungkan menandakan kurangnya ketaatasasannya. Ditambah lagi dengan orientasi objektif: dalam uraian mengenai persoalan, tema, perwatakan (hlm. 78), plot (hlm. 94), dan gaya (hlm. 99). Dalam uraian itu ia memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Memang dalam kritik sastra seringkali “tidak terhindarkan” dipergunakannya teori-teori yang bermacam-macam dari keempat orientasi sastra sebagai dasar kritik. Meskipun Oemarjati mempergunakan bermacam-macam orientasi sastra, pada kenyataannya, dalam analisis teori objektiflah yang lebih mendominasi kritiknya.
Dalam teori kritik objektif diterapkan pendekatan struktural dalam karya sastra, artinya pada aliran Rawamangun lebih menekankan pada pemahaman terhadap struktur suatu ciptaan (karya sastra) pada masa tertentu. Awalnya tokoh-tokoh Rawamangun pada berbagai prasaran tidak memaparkan metode struktural meskipun Hutagalung menerangkan bahwa dalam aliran Rawamangun menerapkan metode ini. Akan tetapi sejak berlangsungnya Penataran Sastra I di Tugu Bogor 7 September s.d 5 November 1978, metode ini dijelaskan secara eksplisit dalam beberapa kertas kerja untuk penataran Sastra III di tempat yang sama, 2-6 Oktober 1979.
Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil yang cukup berpengaruh. Aliran Rawamangun membangun paradigmanya di lingkungan akademi. Usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya, memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari kosep metode dan teknik yang sebenarnya berada diluar jangkauan sebagai ahli kritikus sastra. Bahkan dapat dikatakan bahwa bagi setiap peneliti sastra, analisis struktur karya sastra yang ingin diteliti dari segi manapun merupakan tugas pokok, kerja pendahuluan. Hal ini disebabkan karena karya sastra merupakan dunia dalam kata yang mempunyai kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat kita gali dari karya sastra.
Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuh-penuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Jadi, analisis struktural adalah suatu tahap dalam penelitian sastra yang sukar dihindari, sebab analisis semacam itu baru memungkinkan pengertian yang optimal persis seperti dalam ilmu bahasa dimana pengetahuan pengetahuan tentang struktur bahasa juga merupakan syarat mutlak untuk penelitian sosio-linguistik, psiko-linguistik, ilmu sejarah, perbandingan bahasa dan lain-lain.
Esten dalam kertas kerjanya yang berjudul “Beberapa Catatan dari Kerja penelitian (1979:5) menyatakan metode struktural bertolak dari dasar pemikiran bahwa setiap karya sastra memiliki struktur, dan struktur itulah yang membedakan apakah suatu karya merupakan karya sastra atau bukan. Pemaham terhadap unsur-unsur struktur dan bagaimana hubungan antara masing-masing unsur struktur berarti pemahaman terhadap karya sastra itu sendiri.
Beberapa pendapat tentang struktural dari para ahli dalam Suwignyo (2010:92—93):
1. Zaimar (1979:3) menyatakan bahwa metode struktural adalah suatu metode yang menyelidiki makna karya sastra dengan mempelajari unsur-unsur strukturnya. Dan hubungannya satu sama lain. Baru setelah makna dipahami, dapat dibuat berbagai interpretasi.
2. Becker (1978:3—4) yang mengatakan bahwa strukturalisme memberikan suatu cara berdisiplin untuk memulai dengan konteks dalam suatu karya sastra sebagai langkah pertama, dan hanya sesudah analisis struktural itu kita bisa melangkah ke luar teks, ke dunia alamiah atau dunia sosial-budaya yang merupakan konteks yang lebih luas.
3. Prihatmi (1979:2) mengatakan bahwa pemakain metode struktural karena penelitiannya memusatkan perhatian pada salah satu unsur struktur dan kaitannya dengan unsur struktur yang lain, atau bahkan disertakan penilaiannya.
4. Teew (1978:9—10) mengatakan bahwa, strukturak yang dikembangkan sejak abad XX merupakan reaksi terhadap studi sastra yang bersifat Historis-komparatif. Metode struktural lahir dari strukturalisme merupakan reaksi terhadap ektensialisme sebagai aliran filsafat.
5. Becker (1978:3—4) strukturalisme mengemukakan hubungan bagian dengan bagian dan hubungan bagian dengan keseluruhan dalam hierarki linguistik suatu teks, dengan maksud untuk mengetahui pola umum hubungan-hubungan tersebut.

Metode strukturalisme memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
a. Perhatiannya terhadap keutuhan (totalitas)
Totalitas adalah hal yang dianggap lebih penting dari bagian-bagiannya. Totalitas dan bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebaik-baiknya hanya jika dipamdang dari segi hubungan-hubungan yang ada bagian-bagian totalitas itu. Jadi yang menjadikan totalitas sebuah kritik sastra bukanlah totalitas itu, tetapi jalinan hubungan yang ada diantara bagian-bagian itu. Sehingga akan terbentuk totalitas secara keseluruhan.
b. Strukturalisme tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di bawah atau di balik kenyataan empiris. Kaum strukturalisme mengatakan bahwa yang terlihat dan yang terdengar bukanlah struktur yang sebenarnya, akan tetapi hanya merupakan hasil atau bukti adanya struktur.
c. Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang sinkronis. Perhatiannya dipusatkan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat, pada suatu saat, pada suatu waktu, dan bukan pada perjalanan waktu.
d. Aliran strukturalisme merupakan metode pendekatan antikausal. Dalam analisis kaum strukturalisme tidak menggunakan pengertian sebab-akibat melainkan hanya meyakini perubahan bentuk (Damono dalam Suwignyo, 2010:94)
Keistimewaan strukturalisme adalah penggabungan kempat ciri-ciri di atas dalam suatu metode. Jadi berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapatlah disebutkan bahwa tujuan dari telaah strukturalis adalah membongkar dan memaparkan secermat, setiliti, sedetail, dan sedalam-dalamnya keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dalam sifat dan strukturnya. Analisis struktur selalu diarahkan oleh ciri khas karya sastra yang hendak dianalisis (Teeuw dalam Suwignyo, 2010:48).
Jadi bagian strukturalisme yang mampu menyentuh pada aliran Rawamangun adalah bagian-bagian tertentu saja yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan sastra Indonesia. Bahkan ada yang mengatakan dan atau masih mempertanyakan bagaimana kaitannya antara pendekatan struktrural dan aliran Rawamangun. Mengingat begitu banyak gambaran tentang strukturalisme, tidak mungkin semua dilibatkan dalam aliran ini. Akan tetapi, meskipun strukturalisme tidak begitu disinggung oleh tokoh aliran Rawamangun, tetapi strukturalisme tidak bisa disisihkan begitu saja. Karena pada intinya analisis strukturalisme dalam sebuah krtik atau penelitian sastra, tidak dapat dihindari
Metode Rawamangun menggunakan langkah-langkah yang meliputi sebagai berikut:
1. Tahap Eksplorasi
Seorang kritikus dengan sikap “skeptis (serba ingin tahu)” dan “curiousity (serba menanya)” melakukan penjelajahan sambil melakukan penikmatan.
Contohnya: di dalam benak kita selalu bertanya-tanya mengapa cerpen atau novel ini diawali dengan klimaks, apakah secara kebetulan saja atau memang berkaitan dengan penataan artistik. Kemudian kritikus melakukan penafsiran penafsiran keseluruhan (bukan secara fragmatik) serta memadukannya dengan pengalaman membaca-membaca karya-karya cerpen atau novel. Sehingga dalam proses ini diperlukan banyak membaca agar dalam mengawali suatu penelitian kritik sastra, kritikus mampu mengawalinya tanpa kekosongan.
2. Tahap identifikasi
Tahap ini menurut seorang kritikus untuk bersedia menempatkan dirinya dalam karya sastra yang ditelaah. Hal ini bukan berarti kritikus melebur dan terhanyut dalam karya sastra yang dikaji. Kritikus yang baik akan menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dikaji. Tujuan tahap identifikasi adalah untuk mencapai hasil kritikannya benar-benar akurat atau lebih esensial dapat menyingkap atau menerangjelaskan makna serta nilai-nilai karya sastra yang dikaji.
3. Tahap Analisis
Pada tahap analisis dilakukan pembedahan karya sastra sampai sekecil-kecilnya. Sehingga seorang kritikus dituntut memiliki wawasan yang luas dengan argumentasinya yang tajam. Kritikus yang baik tidak akan menerogoh dalam-dalam ciri khas karya sastra yang dibedah. Tujuan tahap ini adalah untuk menunjukkan segala unsur yang ada, relasi yang dibangun baik intrinsik maupun ekstrinsik sebagai jaringan sistem.
4. Tahap Kesimpulan
Pada tahap ini, seorang kritikus akan memberikan konklusi bahwa unsur karya sastra yang dianalisis ditentukan polanya, aspek tematiknya, kecenderungan penggunaan sarana retoriknya atau unsur-unsur lain sesuai dengan tujuan analisisnya.
5. Tahap Evaluasi
Seorang kritikus akan memberikan penilaian atau judgment tentang kualitas karya sastra yang ditelaah. Dasar penilaian yang digunakan yaitu pendekatan kritik sastra apa yang digunakan, kriteria mana yang digunakan dan mengaitkannya dengan studi sastra yang lain. Selain itu teori atau falsafah mana yang dianut atau diyakini kebenarannya oleh kritikus sastra.

Kelemahan dan Kelebihan Metode Kritik Sastra Aliran Rawamangun
Seperti yang telah dibahas dalam sub bab-sub bab sebelumnya, Rawamangun menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang dilakukan kritikus berdasarkan karya sastra itu sendiri. Pendekatan yang seperti itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari aliran Rawamangun yang menggunakan pendekatan objekif ini adalah pembahasan strukturalnya yang menjadi lebih terfokus. Dengan demikian pembahasan mengenai struktur dikaji secara lebih detail dan mendalam. Sedangkan metode struktural tersebut memang sangat penting untuk mengkaji suatu karya sastra. Semua aliran akan membutuhkan pembahasan struktural. Inilah yang menjadi kelebihan Rawamangun yang menitikberatkan kajiannya pada metode struktural.
Sedangkan kekurangannya adalah hasil kritiknya hanya menghasilkan analisis dan tafsir tekstual, dan kurang luas pembahasannya karena tidak menyentuh kekayaan di balik teks. Aliran Rawamangun hanya konsisten bahwa bahasa sebagai tanda, bukan petanda. Aliran ini hanya berkutat pada teks dan tidak menguak kultur yang menjiwai teks.

1 komentar: