Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Sabtu, 21 September 2013

MAHASISWA SETENGAH IP


Mahasiswa Setengah IP

Oleh Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang

Indeks Prestasi
Berapakah IP kamu? Pertanyaan itu mungkin akan menjadi sebuah dilema untuk dijawab ketika mahasiswa mencapai IP yang dianggap kurang. Meskipun tinggi rendahnya IP adalah relatif bagi setiap orang. Hal itu menunjukkan bahwa mahasiswa menganggap IP sebagai tolok ukur kepemilikan pengetahuan. IP (Indeks Prestasi) adalah hasil pengukuran belajar dari semua matakuliah yang diikuti melalui tes dan dinyatakan dalam bentuk angka 0-4 atau huruf A, B, C, D, dan E (Wikipedia, 2013). Nilai tersebut menggambarkan tingkat prestasi belajar dalam satu semester atau selama studi. Lebih jauh lagi, IP yang telah dikumulatif (IPK) dapat menentukan kesempatan kerja yang lebih baik. Hampir seluruh lowongan pekerjaan mensyaratkan pelamar harus memiliki IPK minimal 3,00. Memang betul bahwa mahasiswa dengan IPK yang tinggi akan lebih unggul atau lebih mudah untuk lolos seleksi pekerjaan, tetapi bukan mendapatkan pekerjaan. Mengapa demikian? IPK yang tinggi menjadi syarat utama dalam penyaringan pelamar pekerjaan pada tahap pertama. Pada tahap selanjutnya, kemampuan teknis atau  skill serta kemampuan komunikasi dan sikap menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya pelamar tersebut.
Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan
Menurut H. Carl Witherington, hakikat belajar adalah perubahan positif dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Pola-pola tersebut muncul dari pengalaman. Pada dasarnya pula, pembelajar sejati adalah manusia yang menuntut ilmu, memperdalam ilmu, serta mendidik didiknya sendiri secara terus menerus hingga ujung waktu. Menuntut ilmu harus dijalani dengan rasa semangat dan cita-cita yang luhur. Sayangnya, mahasiswa sebagai pembelajar cenderung belum mengalami proses belajar yang sesungguhnya karena sibuk mencatat pengetahuan (kognitif) dari dosen untuk mengejar nilai tinggi. Orientasi ini harus berubah, dari mengejar nilai menjadi mengejar kecerdasan. Tolok ukur dari kecerdasan mahasiswa atau pembelajar adalah pengetahuan yang luas, skill atau keterampilan yang bisa ditampilkan dalam perilaku, serta sikap yang baik. Hal itu semua lebih dikenal sebagai kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Ketiga hal itulah hal yang harus diraih ketika mengikuti proses pendidikan. Ketiga aspek tersebut harus berjalan dengan baik dan seimbang.
IP yang Berkualitas atau Berkuantitas?
IP bagus tidak dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan kualitas seorang pembelajar. Namun, tentu saja keberadaan IP masih penting untuk mengevaluasi capaian mahasiswa. Selain menjadi syarat melamar pekerjaan nantinya, IP menjadi bukti prestasi yang dapat membanggakan keluarga di rumah. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apa tanggung jawab mahasiswa  terhadap IP tinggi yang telah diperoleh? Tanggung jawab dari IP tinggi adalah kualitas yang tinggi. Kualitas tinggi ditunjukkan dengan kecerdasan dan akhlak mulia. Kualitas itu terwujud pada kinerja, sikap, dan perilaku baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. IP seharusnya dipersepsikan sebagai prestasi belajar yang mencerminkan pencapaian mutu pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai hasil belajar. Pertanyaan selanjutnya, bisakah mahasiswa mengubah pandangannya terhadap IP selama ini? Sudah saatnya mahasiswa tidak memandang IP sebagai bentuk angka yang harus dipuja. Toh kualitas bukan sesuatu yang dapat diangkakan, tetapi diwujudkan dengan nyata. 

Sabtu, 20 Juli 2013

PERPANJANGAN TANGGAL PENDAFTARAN SAYEMBARA MENULIS CERPEN SE JAWA BALI 2013 FLP RANTING UM



Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali adalah ajang lomba menulis yang telah diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Negeri Malang (UM) sejak tahun 2007. Respon positif dari masyarakat dengan banyaknya peserta pelajar, mahasiswa, dan umum yang ikut mendaftar serta mendukung sayembara ini membuat FLP Ranting UM rutin setiap tahunnya mengadakan Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali. Di tahun ini, FLP Ranting UM kembali mengadakan Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali dengan tema "Selaksa Mutiara Ramadhan, Berjuta Kisah Cerita".

Penyelenggara
FLP Ranting UM

Waktu Pendaftaran
1 Mei - 20 Juli 2013

WAKTU PERPANJANGAN PENDAFTARAN
21 JULI 2013 - 27 JULI 2013

Hadiah
1. 10 cerpen terbaik mendapatkan sertifikat
2. Total hadiah jutaan rupiah

Biaya Pendaftaran
1.    Mahasiswa/ Umum       Rp 20.000,00
     Pelajar/ SMA/ SMP       Rp 15.000,00
2.    Biaya pendaftaran dikirim ke nomor rekening BRI 1662-01-000060-50-2 atas nama Wulan Candra Buana

Pengiriman Naskah:
1.    Scan identitas diri (KTP/ KTM/ Kartu Pelajar) dan bukti pembayaran di bank.
2.    Melampirkan biodata diri (tulis di halaman terpisah)
3.    Naskah cerpen dikirim ke email flprantingum@gmail.com dengan melampirkan identitas diri, bukti pembayaran, dan biodata diri.

Pengumuman Pemenang
Pemenang akan diumumkan melalui blog FLP UM pada tanggal 24 Agustus 2013.

Informasi
1.    Dicha      085790712011
2.    Nona       085739788555
3.    Website   flprantingum.blogspot.com

Jumat, 19 Juli 2013

DICARI: BUDAYA MEMBACA


DICARI: BUDAYA MEMBACA

Oleh Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang


Seiring perkembangan zaman, masyarakat lebih tertarik mencari hiburan instan yang tidak membutuhkan proses berpikir mendalam. Menjamurnya telepon genggam sebagai media jejaring sosial atau media game yang canggih dan keren menjadi salah satu bukti nyata hiburan instan. Belum ada yang menawarkan dirinya sebagai media membaca paling praktis, paling canggih, atau paling mudah digunakan di mana saja. Hal ini pun menjadi satu bukti bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Pendapat ini dikuatkan dengan hasil survei terbaru dari UNESCO (2012) yang menunjukkan 1 dari 10.000 rakyat Indonesia (0,01 %) memiliki keinginan membaca. Sementara itu, minat baca di Jepang mencapai 45 % dan Singapura mencapai 55 %. Jelas sudah bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal menggali ilmu pengetahuan. Bukankah kondisi ini sangat ironis? Mengingat Indonesia adalah negara berkembang yang cukup pesat pertumbuhannya?
Membaca merupakan kegiatan yang dapat mengasah otak dengan baik. Melalui membaca, otak akan bekerja untuk memahami dan perasaan akan bekerja untuk merasakan tulisan yang dibaca. Secara tidak langsung, pembaca mendapatkan tambahan pengetahuan baru tentang suatu hal. Membaca juga memberikan kesehatan pada otot mata yang terlatih untuk membaca secara teliti. Dengan demikian, membaca memberikan manfaat yang banyak kepada pembacanya.
Sebenarnya, mudah sekali untuk menemukan budaya membaca itu. Coba tengoklah sebentar definisi budaya. Budaya adalah sesuatu beradab yang telah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Untuk menemukan budaya membaca, maka perlu diciptakan kebiasaan membaca. Kebiasaan ini dapat tercipta dari keluarga yang dapat mengajak anak untuk membiasakan budaya membaca bersama daripada mencari hiburan yang instan. Guru dapat mengajak siswa untuk memberikan porsi pembelajaran lebih banyak dan mengajak siswa untuk mengerjakan tugas dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Begitu pula dengan lingkungan yang harus bisa menciptakan lingkungan membaca di tempat-tempat umum, seperti terminal, stasiun, dan lain-lain. Lingkungan membaca ini berisi tempat-tempat khusus untuk membaca, juga persedian buku-buku yang banyak, sehingga seluruh masyarakat dapat terbiasa membaca buku di mana saja dan kapan saja dengan mudah.
Mudah bukan untuk menemukan budaya membaca? Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh elemen masyarakat bangkit untuk mencari dan membangun budaya membaca demi mewujudkan SDM unggul untuk menghadapi persaingan globalisasi serta menciptakan pertumbuhan pesat yang berilmu. Marilah mewujudkan budaya membaca dengan memulainya pada diri sendiri.

Senin, 20 Mei 2013

APA KABAR HARI BUKU NASIONAL?


APA KABAR HARI BUKU NASIONAL?
Oleh Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang


Apa Hari Buku Nasional Itu?
Indonesia pertama kali merayakan Hari Buku Nasional pada tanggal 17 Mei tahun 2006. Hari Buku Nasional sendiri dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional  RI tahun 2004 Abdul Malik Fadjar bersama Forum Indonesia Membaca dengan tujuan meningkatkan minat baca masyarakat menjadi lebih baik. Sayangnya, Hari Buku Nasional ini belum terdengar gaungnya oleh masyarakat. Tanggal 17 Mei menjadi tanggal yang sama dengan tanggal-tanggal biasanya, karena tidak ada perayaan khusus terhadap Hari Buku Nasional. Selain itu, belum adanya perubahan yang membaik terhadap minat baca Indonesia membuat Hari Buku Nasional semakin tenggelam keberadaannya. Jika begitu, apakah Hari Buku Nasional dapat membantu peningkatan minat baca masyarakat Indonesia selama ini?

Minat Baca yang Rendah
Menurut Fadli Zon, intelektual serta budayawan, survei terbaru menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yakni 0,01 persen. Ini berarti hanya 1 dari 10.000 orang yang memiliki keinginan membaca. Sementara di Jepang, minat bacanya mencapai 45 persen dan Singapura mencapai 55 persen. Jelas bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal menggali ilmu pengetahuan. Kondisi ini sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar ketiga di dunia. Keironisan ini ditambah dengan budaya membaca yang tidak dilestarikan. Sejak pendidikan dasar, anak diajak untuk lebih berbudaya mendengarkan guru dan melihat apa yang dilakukan guru. Budaya membaca buku ilmu pengetahuan menjadi pilihan terakhir bagi siswa karena tidak ada kebiasaan, dorongan, dan motivasi membaca yang diberikan. Selain itu, dalam lingkungan rumah ataupun masyarakat, anak terbiasa berbudaya mendengarkan musik dan melihat tayangan di televisi atau internet.

Hari Buku Nasional atau Pelestarian Budaya Membaca?
Hari Buku Nasional merupakan momen yang baik untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Namun, apakah Hari Buku Nasional itu mampu membuat momen budaya membaca menjadi berkepanjangan hasilnya? Tentu saja hasil seperti itu susah diwujudkan jika momen itu diadakan hanya sekali dalam setahun. Sebenarnya, hal yang lebih penting adalah bagaimana budaya membaca itu dilestarikan? Tentu saja terdapat banyak cara. Salah satunya adalah melalui pendidikan dasar yang dapat (bahkan harus) memberikan pembelajaran membaca lebih banyak porsinya. Keluarga juga dapat mengajak anak untuk lebih berbudaya membaca ketimbang berbudaya melihat tayangan televisi. Lingkungan juga dapat diciptakan menjadi lingkungan membaca dengan menyediakan tempat-tempat khusus untuk membaca serta persedian buku-buku yang banyak.

Budaya Membaca Buku Menciptakan Watak Bangsa yang Cerdas
Usaha mencerdaskan bangsa tak bisa dipisahkan dari membaca buku. Buku adalah sumber segala ilmu pengetahuan. Seperti kata Bung Hatta, bahwa buku membentuk watak bangsa. Ini berarti buku menjadi bibit unggul untuk membentuk SDM yang baik. Kualitas SDM yang baik adalah modal utama pembangunan dan bekal menghadapi globalisasi penuh persaingan. Hari Buku Nasional merupakan gagasan yang baik sebagai momentum kebangkitan minat baca Indonesia. Namun, alangkah lebih baiknya jika momentum ini dimanfaatkan lebih baik. Dengan begitu, momen membaca tidak hanya diadakan setahun sekali, namun menjadi momen yang bertransformasi sebagai budaya membaca. 

Senin, 13 Mei 2013

LOMBA: SAYEMBARA MENULIS CERPEN Se JAWA-BALI 2013 FLP RANTING UM


Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali adalah ajang lomba menulis yang telah diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Negeri Malang (UM) sejak tahun 2007. Respon positif dari masyarakat dengan banyaknya peserta pelajar, mahasiswa, dan umum yang ikut mendaftar serta mendukung sayembara ini membuat FLP Ranting UM rutin setiap tahunnya mengadakan Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali. Di tahun ini, FLP Ranting UM kembali mengadakan Sayembara Menulis Cerpen Se Jawa-Bali dengan tema "Selaksa Mutiara Ramadhan, Berjuta Kisah Cerita".

Penyelenggara
FLP Ranting UM

Waktu Pendaftaran
1 Mei - 20 Juli 2013

Hadiah
1. 10 cerpen terbaik mendapatkan sertifikat
2. Total hadiah jutaan rupiah

Syarat dan Ketentuan:
1. Peserta dibagi menjadi dua kategori (mahasiswa/umum dan pelajar/SMP/SMA).
2. Cerita sesuai dengan tema yang telah tertera di atas.
3. Naskah ditulis dengan ketentuan:
a. spasi 1,5 Times
b. font Times New Roman ukuran 12,
c. kertas ukuran A4 dengan margin kiri-atas-kanan-bawah 3-3-3-3 cm,
d. panjang naskah 4-8 halaman,
e. menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta
f. tidak mengandung SARA dan pornografi.
4. Naskah bukan hasil plagiat dan belum pernah diterbitkan atau diikutsertakan di lomba/sayembara lain dengan menunjukkan surat pernyataan keaslian karya.
5. Tidak memberi hiasan apapun pada karya, seperti border dan lain-lain.
6. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

Biaya Pendaftaran
1.    Mahasiswa/ Umum       Rp 20.000,00
Pelajar/ SMA/ SMP       Rp 15.000,00
2.    Biaya pendaftaran dikirim ke nomor rekening BRI 1662-01-000060-50-2 atas nama Wulan Candra Buana

Pengiriman Naskah:
1.    Scan identitas diri (KTP/ KTM/ Kartu Pelajar) dan bukti pembayaran di bank.
2.    Melampirkan biodata diri (tulis di halaman terpisah)
3.    Naskah cerpen dikirim ke email flprantingum@gmail.com dengan melampirkan identitas diri, bukti pembayaran, dan biodata diri.

Pengumuman Pemenang
Pemenang akan diumumkan melalui blog FLP UM pada tanggal 24 Agustus 2013.

Informasi
1.    Dicha      085790712011
2.    Nona       085739788555
3.    Website   flprantingum.blogspot.com



Senin, 22 April 2013

TOKOH IBU DAN SISI LAINNYA DALAM SUDUT PANDANG PROSA “PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN”


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang



Aku melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan terbangun karena kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada azan. Tak ada kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio tukang susu. Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku tertatih keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang separuh terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan di udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya.

Kutipan di atas merupakan penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian merupakan buah karya dari Arvianti Armand. Cerpen ini sendiri diterbitkan pertama kali di koran Kompas Minggu. Arvianti Armand merupakan nama baru dalam dunia sastra ketika ia menerbitkan cerpennya ini. Walaupun begitu, cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik, yang pada akhirnya dibukukan dalam Antologi Cerpen Kompas Pilihan Tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan tragedi kekerasan yang dialami seorang Ibu karena suaminya, dimana anaknya yang bernama Radian menjadi saksi mata. Memang, tidak heran jika cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik kompas tahun 2009. Cerpen ini memiliki berbagai macam keunikan dalam penceritaannya. Salah satu keunikan itu terdapat pada unsur sudut pandangnya. Sudut pandang yang digunakan terdapat dua, yaitu sudut pandang pertama (tokoh Ibu) dan sudut pandang ketiga (penulis).
Apa definisi dari sudut pandang itu sendiri? Sudut pandang merupakan salah satu unsur intrinsik selain tema, latar, pesan, penokohan, alur yang membuat cerpen menjadi utuh. Sudut pandang merupakan cara pandang pengarang yang bercerita dengan menempatkan pengarang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, atau bahkan orang yang ada di luar cerpen itu sendiri (Prabowo, 2011). Unsur ini tidak bisa dianggap remeh karena pemilihan sudut pandang juga tidak hanya akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempengaruhi alur cerita.
Menurut Friedman  sendiri (Prabowo, 2011), sudut pandang secara garis besar terdapat dua macam, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “aku” inilah pengarang mengisahkan peristiwa atau tindakan dengan kesadaran dirinya sendiri. Tokoh “aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan. Sedangkan dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya atau kata gantinya “dia” atau “ia”.
Sebenarnya, bagaimana keunikan sudut pandang cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian ini? Berikut akan saya kutipkan lagi satu penggalan cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian.
Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman. Perempuan itu jatuh terduduk di lantai dapur. Tenaga telah dikuras keluar. Habis. Air mata telah dikuras keluar. Habis. Kini ia terlongong kosong. Anak lelaki itu mendekat, lalu duduk merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. Ibu, bisiknya.
Kalau kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu. Tak tahu. Radian kembali menekuri gambarnya. Apakah kamu mencintai ayah? Aku mengangkat bahu lagi. Tak tahu. Yang kutahu, aku mencintaimu. Radian tersenyum tanpa mengangkat kepala. Apakah aku mencintainya? Aku tidak ingat.
Ketika membaca penggalan cerpen di atas, pembaca secara tidak sadar dibawa penulis untuk berpindah sudut pandang cerita. Pada kalimat Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman hingga  kalimat Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu, penulis menggunakan sudut pandang ketiga. Sudut pandang ketiga ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan itu. Namun, pada paragraf berikutnya yang dibuka dengan kalimat Kalau kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu sudut pandang cerita berubah menjadi sudut pandang pertama. Sudut pandang pertama itu ditunjukkan pada penggunaan kata aku.
Berikut contoh lain dari penggunaan sudut pandang yang berubah-ubah ini.
...
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
...
Pada paragraf yang dimulai dengan kata Jendela tersebut, penulis menggunakan sudut pandang ketiga dalam penceritaannya. Sudut pandang ketiga itu ditunjukkan pada penggunaan kata perempuan itu. Sedangkan, pada paragraf berikutnya yang dimulai dengan kata Aku, penulis berganti penggunaan sudut pandang menjadi sudut pandang pertama. Penulis menggunakan kata aku sebagai sudut pandang pertama dalam penceritaannya.
Begitulah penulisan sudut pandang dalam cerita Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian ini, yaitu berubah-ubah. Perubahan sudut pandang ini terlihat mencolok karena penggunaan kata aku dan perempuan itu yang saling bergantian sebagai sudut pandang cerita. Jelaslah bahwa penggunaan dua sudut pandang ini mempengaruhi penyajian cerita. Namun, perubahan sudut pandang ini tidak mempengaruhi alur cerita. Mengapa demikian? Karena dalam cerita ini, sudut pandang ketiga (perempuan itu) adalah sudut pandang dari aku, yaitu tokoh Ibu. Sudut pandang ketiga itu bukanlah sudut pandang penulis. Pernyataan ini terkuak dari penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian di bawah ini
...
Malam terasa berat, tapi sinar bulan cukup untuk meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru. Mungkin lelah. Atau putus asa. Tapi jelas ia marah. Kemarahan membayang seperti sayap-sayap hitam seekor gagak, menyambar dan mencakar-cakar wajah itu, meninggalkan kerut-kerut yang dalam.
...
Kalimat yang menunjukkan bahwa sudut pandang ketiga perempuan itu merupakan sudut pandang yang sama dengan Ibu dan bukanlah sudut pandang penulis adalah Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut, Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru.
Dari penggalan di atas, dapat diketahui bahwa sudut pandang ketiga perempuan itu bukanlah sudut pandang penulis yang berada di luar cerita atau tidak terlibat dalam cerita. Sudut pandang ketiga tersebut merupakan sisi lain dari tokoh Ibu. Yang dimaksud sisi lainnya adalah bayangan tokoh Ibu dalam cermin. Ketika tokoh Ibu melihat bayangannya sendiri, ia merasa benci dan tidak suka dengan bayangan itu. Sehingga, ia memberi julukan perempuan itu kepada bayangannya sendiri. Frasa perempuan itu-lah yang dijadikan sudut pandang ketiga dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini.
Secara teori, frasa perempuan itu sah-sah saja menjadi frasa sudut pandang ketiga, walaupun makna dari “perempuan itu” adalah sisi lain dari tokoh Ibu. Hal ini disebabkan frasa tersebut menjadi subjek yang menceritakan peristiwa demi peristiwa dalam cerpen. Selain itu, tidak digunakannya kata aku sebagai subjek pencerita sudah jelas menunjukkan bahwa penulis menggunakan jenis sudut pandang lain dalam cerpen ini. Jenis sudut pandang lain itu tidak lain adalah sudut pandang ketiga. Sudut pandang ketiga dalam cerpen ini adalah sudut pandang ketiga terbatas. Artinya pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh satu tokoh, yaitu Ibu. Namun, apa sebenarnya pengaruh penggunaan sudut pandang macam itu?
Penggunaan model sudut pandang dalam cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini menjadi kekuatan tersendiri, karena sudut pandang ini dapat mendukung atau memperkuat karakter tokoh Ibu. Tokoh Ibu dalam cerpen ini dijelaskan sebagai Ibu yang mengalami kompleksitas emosi. Kompleksitas ini tumbuh dari kekerasan rumah tangga yang dialami, masa lalu yang tidak bahagia, dan kesedihan serta kekhawatiran terhadap Radian juga gambar-gambar buatannya. Selain faktor dari luar, tokoh Ibu juga mengalami kompleksitas emosi dari diri sendiri. Dalam cerpen ini, dijelaskan bahwa tokoh Ibu sendiri sebenarnya kecewa dengan dirinya sendiri yang selalu menjadi korban kekerasan. Kekecawaan itulah yang ia ungkapkan melalui sisi lain, yaitu perempuan itu. Secara tidak langsung, perubahan sudut pandang itu dapat menggambarkan emosi tokoh Ibu yang naik turun sehingga pemaknaan karakter serta konfliknya dapat terasa lebih mendalam. Berikut penggalan cerpen yang menggambarkan kompleksitas emosi tersebut.
...
Perempuan itu menunjukkan gambar tadi pada suaminya saat makan malam. Kepala sekolah menunjukkan gambar itu padanya tadi pagi. Gambar Radian. Lelaki itu tak berkata sepatah pun. Ia hanya menggebrak meja, mengambil piring, dan melemparkannya. Tepat ke muka. Ia tercekat. Rasa sakit nyaris meledakkan kepala. Ia menelannya. Kemarahan menyergap seketika. Ia menelannya. Suara piring yang pecah memekakkan telinga. Anak lelakinya keluar dari kamar dan terdiam di pintu, tidak lagi heran ketika ayahnya pergi.
Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu.
Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya.
Aku tidak lapar, Ibu. Anak lelaki itu ketakutan. Tapi perempuan itu tetap berjalan ke dapur. Ia tidak membuka lemari pendingin, tidak meletakkan panci di atas api. Ia cuma mengambil pisau dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali. Matanya menatap ke depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan gerakan memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang mungkin hanya ada di kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat. Keringat turun berbulir-bulir dari dahinya. Air turun berbulir-bulir dari matanya. Anak lelaki itu tak berani mendekat. Ia cuma menatap punggung ibunya yang berguncang keras. Sesuatu dari dalam telah merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak mengenalinya lagi. Aku tak mengenalinya lagi.
...
Memang pada umumnya, cerpen menggunakan satu sudut pandang dengan asumsi agar tidak membingungkan cerita itu sendiri. Namun, tidak pada cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian ini. Justru unsur sudut pandang dimanfaatkan, bahkan dibelokkan sedikit, untuk mendukung unsur-unsur lainnya dalam cerpen. Hasilnya, pemanfaatan dan pembelokan itu dapat menciptakan serta mendukung kekuatan tema cerita, tokoh juga perwatakan tokoh Ibu. Toh pemanfaatan dan pembelokan itu merupakan hal yang lumrah. Selama tidak keluar terlalu jauh dari teori dasar dan bertujuan untuk menguatkan keutuhan cerpen, tidak ada salahnya untuk bermain-main dan berkreatifitas setinggi mungkin untuk mengotak-atik unsur-unsur cerpen yang ada.