Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Minggu, 27 Januari 2013

PRODUKSI UJARAN


Dalam berkomunikasi, penutur asli memerlukan perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Proses mental ini menyangkut berbagai aspek. Aspek pertama berkaitan dengan asumsi tentang pengetahuian interlokutor (orang yang diajak bicara). Suatu kalimat tidak akan mempunyai makna apa-apa bagi pendengar bila semua informasi yang ada di dalamnya adalah informasi baru.
Aspek kedua adalah prinsip kooperatif. Penutur harus memberikan informasi yang pas, jelas, benar, tidak ambigu, dan sebagainya. Tanpa aturan “lalu lintas” seperti ini pastilah akan terjadi ketidakserasian. Di samping itu, penutur juga harus memperhatikan aspek pragmatik ujarannya. Contohnya bahasa penutur etnik Jawa. Kalimat “Ibu arep tindak endi?” (Ibu mau pergi ke mana?) bermakna lebih benar dan terterima bila diucapkan oleh anak kepada ibu. Namun, kalimat Ibu arep lungo endi?” (Ibu mau pergi ke mana?) akan bermakna tidak benar dan tidak terterima bila diucapkan oleh anak kepada ibunya.
Proses dalam ujaran dibagi menjadi empat tingkat, yaitu (1) tingkat pesan dimana pesan yang akan disampaikan diproses, (2) tingkat fungsional dimana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik, (3) tingkat posisional dimana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan (4) tingkat fonologi.
Pada tingkat pesan, penutur mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang ingin disampaikan. Contohnya pada kalimat Tutik sedang menyuapi anaknya. Nosi-nosi yang ada pada benak penutur adalah (a) adanya seseorang, (b) orang ini wanita, (c) dia sudah nikah, (d) dia punya anak, (e) dia sedang melakukan suatu perbuatan, (f) perbuatan itu adalah memberi makan pada anaknya.
Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua hal. Pertama, memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Pada kalimat di atas, kata Tutik merupakan nama perempuan yang dikenal yang digunakan sebagai pelaku perbuatan, perbuatan yang dilakukan menggunakan verba suap, anaknya merupakan resipien. Proses kedua adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah dipilih ini. Proses di sini menyangkut hubungan sintaktik atau fungsi gramatikal. Kata Tutik menjadi fungsi subjek, kata anaknya menduduki fungsi objek.
Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan berdasarkan pada jajaran yang linier, tetapi pada kesatuan makna yang hierarkis. Pada contoh kalimat, kata sedang bertautan dengan menyuapi. Begitu juga dengan –nya bertautan dengan anak. Setelah pengurutan selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Contohnya pada verba suap harus ditambah dengan sufiks ­–i.
Pada tingkat terakhir, yaitu tingkat fonologi, menerapkan aturan fonototik bahasa yang bersangkutan. Kata Tutik mengikuti aturan fonotatik Bahasa Indonesia, namun Ktuiek tidak. Proses fonologis ini tidak sederhana karena tersangkut proses biologis dan neurologis.
Berikut akan digambarkan bagan dari proses produksi ujaran
                                                            Wacana
                                    Perencanaan    Kalimat
                                                            Konstituen
Produksi
                                                            Program artikulasi
                                    Pelaksanaan    
                                                            Artikulasi
Dalam produksi wacana terdapat dua jenis, yaitu produksi wacana dialog dan monolog. Dalam proses produksi wacana dialog terdapat empat unsur, yaitu (1) personalia, (2) latar bersama, (3) perbuatan bersama, dan (4) konstribusi. Pada unsur personalia, minimal harus ada dua partisipan, yakni pembicara dan interlokutor. Unsur latar bersama merujuk pada anggapan bahwa baik pembicara maupun iterlokutornya sama-sama memiliki prasuposisi dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam pengetahuan inilah yang dinamakan latar bersama.
Unsur perbuatan bersama adalah bahwa baik pembicara maupun interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Suatu percakapan memiliki tiga struktur, yaitu pembukaan, isi, dan penutup. Pada pembukaan, harus ada ajakan dan respon. Tanpa respon, suatu percakapan tidak mungkin akan berlanjut. Pada isi, kedua pembicara harus memiliki pengetahuan dan latar yang sama. Dalam penutup, kedua pembicara harus menyelesaikan topic trakhir, sama-sama bersedia untuk mengakhiri percakapan. Tanpa urutan ini, satu pihak bisa merasa tersinggung karena dia mempunyai percakapan yang diputus.
Dalam sebuah percakapan terdapat relevansi kondisional. Relevansi kondisional adalah kalimat-kalimat yang mempunyai ketertarikan makna. Bila dalam suatu percakapan relevansi kondisional tidak dipenuhi, maka terdapat kesalahan dalam komunikasi tersebut. Kesalahan ini dapat terjadi karena adanya kalimat atau pasangan lain yang menyelanya. Unsur konstribusi memiliki dua tahapan, yaitu (a) tahap presentasi dimana pembicara menyampaikan sesuatu untuk dipahami interlokutor dan (b) tahap pemahaman dimana interlokutor memahami apa yang disampaikan pembicara.
Percakapan memiliki struktur atau aturan. Struktur percakapan antara pembicara dan interlokutor biasanya saling bergantian ketika hendak berbicara. Dua personalia tersebut memahami hak masing-masing ketika hendak berbicara, berapa lama menunggu untuk menjawab, kapan untuk diam, dan kapan harus bicara. Menurut Beattie dan Barnard (1972), jarak antara pembicara berhenti dan interlokutor menjawab atau menanggapi adalah 0,2 detik. Aturan yang dikemukakan Sacks dkk (1974) adalah bahwa orang tidak selalu menunggu giliran untuk berbicara. Interlokutor dapat mengisi kata yang pembicara lupa. Dalam percakapan tatap muka, bisa saja tanda giliran itu berupa anggukan, gelengan kepala, atau lirikan mata, dan sebagainya.
Dalam wacana monolog, partisipannya hanya satu orang. Orang tersebut mengiuti pola narasi tertentu ketika bermonolog. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pembicara dalam bermonolog adalah faktor memilah informasi, merinci kata-kata, urutan penyajian, dan hubungan antara unsur-unsur. Dari segi informasi yang akan diberikan, orang memilah-milah mana yang layak dimasukkan dan mana yang tidak. Selain memilah-milah, pembicara juga harus menentukan serinci mungkin ide apa yang ingin dikatakan. Faktor lainnya adalah urutan penyajian. Dalam bermonolog, pembicara harus mengatakan pesannya sesuai dengan urutannya. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Contohnya adalah dalam kunjungan ke Bogor apa hubungan antara Kebun Raya, dengan kunjjungan ke sana.
Setelah mengetahui pesan-pesan yang ingin dikatakan, maka proses berikutnya adalah perencanaan produksi kalimat. Terdapat tiga kategori yang perlu diproses, yaitu muatan proposisional, muatan ilukosioner, dan struktur tematik.
Pada kategori muatan proposisional, pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dinyatakan. Dalam proses ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah pemilahan peristiwa atau keadaan. Setelah muatan proposisional ditentukan, pembicara menentukan ilokusionernya, yakni makna yang akan disampaikan itu diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Di sini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat dinyatakan dengan kalimat representatif  atau kalimat direktif. Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan. Pemilihan cara mengungkapkan tersebut bergantung pada kedudukan sosial, perbedaan umur, hubungan kekerabtan, dan derajat keakraban antara pembicara dengan interlokutornya. Kategori ketiga adalah struktur tematik. Struktur termatik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur yang dihubungkan dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara menentukan mana yang dijadikan subjek atau objek.
Setelah perencanaan kalimat, tahapan berikutnya adalah perencanaan produksi konstituen. Pada tahapan ini, pembicara memilih kata yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki. Pemilihan kata kadang-kadang ditentukan oleh prinsipel keberadaan. Bila ada dua referen atau lebih yang wujud fisiknya berbeda, maka permbicara akan memilih kata yang fitur semantiknya membedakan kedua benda tersebut. Selain itu, pembicara juga cenderung untuk memilih kata yang memiliki derajat kemanfaatan yang optimal. Pemilihan kata ganti pronomina juga menjadi pertimbangan pembicara dalam memilih kata. Pemilihan pronomina ini mempertimbangkan faktor kedudukan sosial, umur, hubungan kekerabatan, dan keakraban.
Suatu kata dapat diproduksi hanya bila telah ada komprehensi sebelumya. Karena itu, masalah produksi tidak dapat dilepaskan dari komprehensi. Pada komprehensi orang menerima input untuk kemudian disimpan dalam memori. Pada produksi kata yang tersimpan itu dicari kembali untuk kemudian diujarkan. Untuk mencari kata itu tentunya diperlukan proses eliminatif dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata itu, baik fitur semantik, sintaktik, maupun fonologis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar