Mengenai Saya

Foto saya
Perempuan kelahiran Kota Malang yang terus belajar, mencoba, lalu berkreasi
Hai! Selamat datang dan selamat menikmati sajian tulisan-tulisan yang semoga bermanfaat ini. Kotak saran dan kritik sangat terbuka, jadi jangan sungkan-sungkan untuk memberikan komentar. Jangan lupa menuliskan sumbernya ya jika mau merujuk tulisan-tulisan di blog ini. Have a nice surf :)

Minggu, 13 Februari 2011

EKRANISASI FILM 'PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN'


Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang


Latar Belakang
Sebuah buku yang kemudian divisualisasikan menjadi sebuah film merupakan sebuah fonemena pada dewasa ini. Secara tanpa kita sadari, tidak terhitung jumlahnya buku yang telah dijadikan film. Bahkan, tak jarang film dari buku itu memiliki keuntungan yang lebih dibanding bukunya sendiri. Salah satunya adalah film Perempuan Berkalung Sorban yang diangkat dari novelnya dengan judul yang sama.
Namun, tidak sedikit pula buku yang difilmkan ini sering membuat kecewa para penggemar buku itu. Karena, seringkali apa yang kita bayangkan dalam benak kita tidak sama dengan apa yang dibuat oleh sutradara. Tetapi, itu semua kembali kepada sutradaranya sendiri. Jika sutradara itu mampu mengangkat, mengutak-atik cerita dan memvisualisasikan cerita di novel dengan baik, maka hasilnya akan baik. Namun, jika sutradara tidak mampu mengangkat, mengutak-atik, dan menvisualisasikannya dengan baik, maka hasilnya akan sebaliknya, gagal.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang ekranisasi karya sasstra Perempuan Berkalung Sorban. Apakah film Perempuan Berkalung Sorban termasuk visualisasi novel yang sukses atau gagal. Sebelum dibahas lebih lanjut, terdapat rumusan-rumusan masalah yang akan dibahas nantinya.
Permasalahannya adalah:
1. Bagaimana perbedaan antara tokoh utama, Annisa, dengan keluarganya?
2. Bagaiamana perbedaan antara Annisa dengan Samsudin?
3. Bagaimana perbedaan antara Annisa dengan Lek Khudori?
4. Bagaimana perbedaan antara Annisa dengan hal-hal lainnya?
5. Bagaimana alur cerita novel dan film Perempuan Berkalung Sorban?
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka tujuan dari artikel ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja perbedaan cerita Annisa dengan keluarga.
2. Untuk mengetahui apa saja perbedaan cerita Annisa dengan Samsudin
3. Untuk mengetahui apa saja perbedaan cerita Annisa dengan Lek
Khudori.
4. Untuk mengetahui apa saja perbedaan cerita Annisa dengan hal-hal
yang lain.
5. Untuk mengetahui apakah alur yang digunakan berbeda atau tidak.

Ekranisasi Hubungan Annisa dengan Keluarganya
Perbedaan antara film dan novel “Perempuan Berkalung Sorban” ini sudah dimulai dari awal adegan film. Film dibuka dengan adegan ketika Annisa, tokoh utama, belajar naik kuda, dia dimarahi oleh Uminya, “Berapa kali Ibu bilang. Anak perempuan itu gak boleh pencilak’an!”. Mengetahui itu, Abi Annisa langsung memarahinya. Dia tidak suka Annisa mengendarai kuda, karna menurut Abi, menaiki kuda adalah hak khusus laki-laki.
Di novel tidak menuliskan hal adegan seperti di atas. Dalam novel dituliskan bahwa Annisa sedang bermain-main dengan kedua kakak lelakinya di sawah tanpa sepengatahuan kedua orang mereka. Kemudian Umi dan Abi Annisa memanggilnya untuk menegurnya agar jangan bermain seperti laki-laki. Nisa yang tidak suka diatur kemudian protes kepada Abi, “Iya. Memangnya kenapa, Pak? Tidak boleh? Kak Rizal juga belajar naik kuda.”. Abi yang bersifat keras memarahi Nisa, “Ow… Ow… Ow…jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!”.
Sutradara telah mengambil keputusan yang tepat untuk menyingkat paparan yang begitu panjang di novel itu. Karena, tulisan ini jika dibuat adegan akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Maka oleh sutradara, tulisan itu dipersingat langsung kepada intisari masalahnya bahwa Annisa sangat bertekad untuk belajar menaiki kuda.
Untuk mempertegas bahwa sejak kecil Annisa secara tidak langsung memperjuangkan hak feminisnya, sutradara membuat satu adegan. Adegan itu adalah ketika Annisa menang dalam pemilihan ketua kelas, namun ia tidak menjadi ketua kelas karena guru Annisa tidak membolehkan perempuan menjadi seorang pemimpin. Karena Annisa sebal, akhirnya dia kabur dari sekolah. Abi yang mengetahui hal itu langsung menyeret Annisa ke kamar mandi dan menyiramnya dengan air.
Pemberontakan Annisa di atas dibuat frontal karna sutradara menginginkan gambaran penegasan bahwa Annisa sudah memperjuangkan hak kesetaraan gendernya sejak ia kecil. Namun, pemberontakannya waktu kecil ini menjadikan gambaran pada penikmat karya sastra tertentu. Bahwa ternyata Annisa adalah seorang anak kecil yang sangat nakal. Karena, anak kecil yang melakukan pemberontakan seperti itu dinilai sangat berani dan kurang sesuai dengan sifatnya yang masih anak kecil.
Dalam novel, pergolakan Annisa ketika menduduki bangku SD tidak sefrontal adegan di atas. Annisa waktu itu masihlah anak kecil yang lugu, yang hanya sekadar ingin tahu. Dia hanya ingin tahu tentang penjelasan gurunya yang menurut Annisa tidak adil bagi kaum perempuan. Pertanyaannya seperti, “Kakek saya pernah bilang, katanya mereka sedang membicarakan urusan laki-laki. Apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?”.
Persamaan cerita muncul ketika Annisa dan Aisyah, temannya, pergi ke bioskop untuk menonton film. Awalnya Aisyah menolak karena dia tahu, pergi ke bioskop dilarang. Menurut ajaran Nyai ???, jika kita pergi ke tempat bioskop hanya sekadar untuk menonton sama saja kita pergi ke tempat maksiat untuk menonton maksiat. Haram hukumnya Namun, Annisa yang bersifat selalu ingin tahu memaksa Aisyah untuk mengikutinya. Dan akhirnya pun Aisyah menemani Annisa.
Perbedaan kembali muncul. Selain perbedaan umur Annisa dan Aisyah yang jika pada novel masih duduk di bangku kelas 5 SD, perbedaannya berada pada tokoh lelaki yang menggoda mereka di bioskop.
Jika di novel diceritakan bahwa lelaki itu bercirikan seperti yang ditulis berikut ini. “Seorang lelaki hitam bertubuh pendek dengan perut menonjol sembilan senti ke depan …”. Kemudian, ciri lainnya disebutkan kembali, “Terlihat giginya yang kuning kecoklat-coklatan di antara gusinya yang berlobang dan empat taring merah menyeringai seakan Drakula dalam buku komik kesukaan Rizal.”
Sedangkan di film, ciri-ciri dari lelaki yang disebutkan tidak satu pun muncul.
Ciri-ciri lelaki di film divisualisasikan dengan tubuh kurus, tinggi. Tidak ada perut yang menonjol sepanjang sembilan cm. Gusi yang berlobang, juga gigi empat taring sama sekali tidak ada. Namun, hal ini sama sekali tidak berpengaruh dalam cerita. Hanya saja perbedaan ini mengaburkan bayangan lelaki seram yang ada di novel.
Kemudian, cerita di novel ketika Annisa dan Aisyah ditolong oleh Pak Tasmin tidak sama dengan film. Di film, Annisa dan Aisyah ditolong oleh dua santri yang tidak tahu mengapa tiba-tiba berada di pasar.
Dua santri yang menggantikan Pak Tasmin dalam novel dimunculkan karena untuk mempraktiskan paparan cerita di novel yang terkesan aneh jika divisualisasikan. Paparan itu adalah, “Tetapi, seminggu kemudian, berita itu telah sampai ke telinga Bapak, tanpa kutahu angin puyuh dari mana yang telah mengabarkannya.”. Jika paparan itu divisualisasikan dengan sama, maka terkesan aneh. Bagaimana bisa Abi Annisa tahu berita itu tanpa ada adegan orang yang memberitahu tentang peristiwa bioskop itu.
Lalu, Abinya yang mengetahui Annisa pergi ke bioskop menjadi sangat berang hingga menampar pipi Annisa. Karna dia sudah tidak kuat dengan Annisa yang seringkali melanggar memberontak peraturan-peraturan pesantren.
Dalam novel, tidak ada penjelasan Abinya menampar Annisa. Yang dipaparkan hanya Abi Annisa yang berang padanya. Perbedaan watak tokoh Abi atau Ayah dari Annisa adalah takaran sifat kerasnya. Jika di novel Abi masih bisa melunak dan bercanda dengan Annisa. Hal itu dijelaskan dalam penggalan kalimat berikut, “Lho, lho, lho…kok malah su’udzon,” kata Bapak sambil mengusap rambutku.”. kalimat itu menunjukkan bahwa Abi Annisa berwatak keras namun masih mampu melunak.
Sedangkan dalam novel digambarkan bahwa Abi Annisa itu berwatak sangat keras. Seolah-olah dia tidak pernah memberi belaian kasih sayang untuk Annisa. Di film ini, Abi Annisa ditegaskan wataknya sebagai Abi yang pilih kasih anak laki-lakinya dan anak perempuannya. Watak Abi yang berada di film ini seperti mewakilkan bahwa kehormatan seorang Kyai pesantren harus dijaga. Apapun caranya, kehormatan itu tidak boleh berubah menjadi jelek di mata orang luar. Hal ini didukung dengan perkataan Abi dalam film, “Kalau sampai orang tusa santri tahu anaknya Kyai seperti ini, siapa yang mau menitipkan anaknya di pesantren ini lagi?!”. Watak Abi yang begitu keras ini menggambarkan bahwa Kyai (Abi dari Annisa) lebih memelihara kepentingan pesantren daripada anaknya sendiri. Sikap tersebut mampu menimbulkan image yang tidak baik terhadap Kyai-kyai pesantren dalam dunia nyata ketika penonton menikmati film ini.
Akibat dari peristiwa bioskop itu, baik dalam novel maupun film adalah Annisa tidak diperbolehkan untuk keluar dari pesantren. Paparan yang ada di novel seperti, “Kemudian, Bapak mulai membuat peraturan-peraturan baru untukku.”. Tulisan ini divisualisasikan dengan adegan ketika Annisa yang ingin membeli pembalut, namun tidak diperbolehkan oleh santriwati yang mengawasi Annisa.
Dalam film ini, adegan dilanjutkan dengan adegan dimana Annisa menerima surat yang memberitahukan bahwa dia diterima di Universitas Islam Yogya.
Annisa yang sangat gembira langsung memberitahukan berita ini kepada Abinya. Sayangnya Abi tidak menginjinkan Annisa untuk kuliah di Yogyakarta. Abi memiliki alasan bahwa sebaiknya Annisa menjalani rumah tangga dengan baik dan benar. Perempuan tidak perlu untuk sekolah tinggi. Karena tidak ada gunanya. Bagi Abi, yang perlu sekolah tinggi hanyalah laki-laki. Karena, laki-laki akan menjadi seorang pemimpin. Hal ini dicontohkan seperti kedua kakak Annisa, yaitu Rizal dan Wildan yang telah menjalani sekolah tinggi di luar kota. Selain itu, Annisa tidak diperbolehkan pergi jauh dari pesantren karena dia belum dimuhrimkan dengan orang lain. Peristiwa ini nantinya akan berujung pada perjodohan anak dua Kyai, yaitu pernikahan antara Annisa dengan Samsudin, anak Kyai Hanan yang merupakan sahabat dari Abi Annisa.
Sedangkan penjelasan di novel mengapa akhirnya Annisa dinikahkan oleh Syamsudin sangatlah berbeda. Di novel dijelaskan bahwa latar belakang mengapa Annisa dinikahkan paksa oleh Samsudin karena pertama, Keluarga Annisa mempunyai hutang budi pada Kyai Hanan. Karena, Kyai Hananlah yang selama ini membiayayai pondok pesantren milik Abi Annisa itu. Yang kedua adalah Annisa, yang sifatnya cenderung berani, tegas, dan memberontak diharapkan bisa menangani Syamsudin yang bersifat nakal sampai orangtuanya sendiri tidak mampu menangani dia.
Walaupun terdapat adegan dimana Ibu-ibu di pasar menggosipkan penyebab mengapa Annisa dinikahkan dengan Samsudin yang alasannya sama seperti di novel, tetap saja hal ini tidak membuktikan bahwa alasan pernikahan yang ada di film dan novel sama. Karena, yang mengatakan itu adalah Ibu-ibu yang tidak ada hubungan keluarga dengan Annisa dan Samsudin. Jika yang mengatakan alasan Annisa dinikahkan karena untuk menangani Saamsudin adalah keluarganya, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan alasan antara film dan novel.

Ekranisasi Kehidupan Rumah Tangga Annisa dengan Samsudin
Satu hal yang perlu ditekankan dalam makalah ini adalah bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara film dan novel ‘Perempuan Berkalung Sorban’ ini. Perbedaan itu terletak pada umur Annisa. Dalam novel Annisa menikah dengan Samsudin ketika ia baru lulus SD, atau bisa dikatakan ketika itu umur Annisa adalah 12 tahun. Sedangkan, dalam film Annisa menikah pada umur 17 tahun, sesaat setelah dia lulus SMA.
Perbedaan yang mencolok ini merupakan perubahan tepat yang dilakukan oleh sang sutradara. Jika pernikahan yang ada di film diperankan oleh Annisa yang berumur 12 tahun, maka yang terjadi nantinya akan ada pencekalan terhadap film ‘Perempuan Berkalung Sorban’ ini. Karena, pada nantinya anak 12 tahun ini diharuskan untuk melakukan banyak adegan-adegan orang dewasa (seks, mencium bagian tubuh) yang kurang lazim jika dimainkan anak kecil. Hal ini juga bisa berpengaruh bagi anak kecil yang bila menonton film ini akan dengan mudah mengerti hubungan dewasa tersebut.
Tidak baik juga untuk memvisualisasikan anak berumur 12 tahun menjalani sebuah kehidupan rumah tangga yang berat dan penuh tekanan. Walaupun dalam kenyataannya terdapat suatu peristiwa pernikahan di bawah umur, namun hal itu baru terjadi sekali, yang diketahui oleh khalayak umum. Itu pun tidak diketahui apakah fenomena penindasan istri di bawah umur terjadi sekarang ini atau tidak. Maka dari itu, untuk menghindari pencekalan, sutradara mengubah usia Annisa pada segmen ini menjadi 17 tahun, tanpa mengurangi apa pesan yang akan disampaikan oleh karya sastra ini.
Pada dasarnya, semua adegan peristiwa yang terjadi di rumah tangga Annisa dan Samsudin mulai dari Samsudin yang memaksa Annisa untuk melakukan hubungan suami istri, hingga Annisa yang disiksa cukup menggambarkan apa yang ditulis di novel. Visualisasi penjelasan di atas dapat dilihat seperti potongan-potongan adegan di bawah ini.
Setelah adegan ini, muncul adegan flashback dimana ketika guru Annisa di pesantren menerangkan seperti berikut, “Seorang wanita, wajib melayani suaminya. Bahkan apabila suami mengajak berzima, kemudian istrinya mengulur-ulur waktu sampai istrinya tertidur, maka laknatullah akan menimpanya.”.
Annisa yang ketika itu menginjak bangku SMA bertanya kepada Ustadz Ali, “Jika seorang istri meminta suaminya untuk melayani dan suami menunda-nunda, apa hukuman bagi suami? Jika suami menceraikan istri namun sang istri telah berusaha mempertahankan pernikahannya, apa hukuman bagi suami?”.
Ustadz Ali yang tidak suka dengan pertanyaan Nisa, dia menjawab, “Itu namanya perempuan gatal!”. Jika dibandingkan dalam novel, pada dasarnya pertanyaan dan jawabannya sama saja.
Untuk penjelasan adegan di atas bahwa istri masih bisa meminta untuk dilayani oleh suami. Jika suami menolak, istri harus menurut pada suami. Suami memang tidak mendapatkan dosa. Karena suami merupakan imam keluarga. Namun, dijelaskan dalam surat An-Nisa bahwa istri berhak untuk menerima hak materi dan batin. Maka, suami yang baik adalah suami yang mampu memberikan hak-hak tersebut dengan adil dan tepat pada waktunya. Ketika suami terus menolak ajakan istrinya, maka suamilah yang mendapatkan dosa. Karna dia tidak memberi nafkah batin kepada istrinya.
Namun, dalam film pertanyaan dan penjelasan yang ada di atas tidak disinggung, dijawab, dituntaskan sama sekali hingga akhir film. Hal ini membuat penonton penasaran, “Jadi, bagaimana yang benar?”. Sebaiknya, sutradara menyinggung sedikit tentang pertanyaan dan penjelasan di atas. Agar rasa penasaran penonton dapat terobati, walaupu sedikit. Rasa penasaran seperti ini harus diarah oleh sutradara sendiri. Karena, rasa penasaran itu bisa muncul ke negatif atau positif. Jika respon yang positif bisa dicontohkan seperti penjelasan di atas. Tetapi, jika respon negatif maka bisa muncul anggapan seperti contoh, “Oh, jadi suamiku sudah dosa besar karena di menolak untuk melayaniku.”. padahal, suaminya baru menolak satu kali. Oleh karena itu, sebaiknya pertanyaan-pertanyaan yang mampu membuat penasaran sebaiknya diarahkan nantinya pada jawabannya.
Adegan ini jika dibandingkan dengan novel pada dasarnya sama saja. Jadi, tidak ada permasalahan yang mencolok pada adegan ini.
Adegan berikutnya adalah adegan yang sama sekali tidak dijelaskan di novel. Adegan ini menampilkan kemarahan Samsudin karena dia belum mempunyai momongan dan kemudian ia memperkosa Annisa secara paksa. Annisa yang sudah tidak kuat langsung menendang Samsudin dan mengambil gunting, mengancam membunuhnya.
Kemudian, Annisa dangan segera mengambil tasnya dan berniat untuk kembali ke pesantren. Tiba-tiba Samsudin mencegah Annisa dan memohon-mohon agar dia tidak pulang kembali ke pesantren.
Samsudin mencegahnya bukan karena dia tidak mau kehilangan Annisa. Melainkan karena dia takut jika Annisa nanti pulang ke pesantren, dia akan menceritakan semua yang Samsudin lakukan kepada Annisa. Jika Kyai Hanan dan Abi Annisa mengetahui perbuatan Samsudin, maka tidak tanggung-tanggung pasti Samsudin dihukum.
Adegan ini sebenarnya tidak ada dalam novel. Adegan ini adalah adegan tambahan dari sutradara. Penambahan adegan ini ditujukan agar emosi penonton meningkat ketika melihat perjuangan Annisa yang hendak pulang namun dihadang oleh Samsudin. Agar penonton menyadari pula bahwa betapa berat perjuangan Annisa yang menanggung tekanan batin pernikahannya dengan Samsudin yang tidak dia ceritakan pada siapapun.
Adegan berikutnya adalah ketika datang seorang wanita yang bernama Kalsum meminta pertanggungjawaban Samsudin atas bayi yang dikandungnya. Dalam novel dan film digambarkan sama bahwa Annisa tidak perduli dengan kehadiran Kalsum di rumah.
Namun, perbedaannya adalah sutradara menambahkan adegan dimana Kyai Hanan mengijinkan Samsudin menikah lagi atau berpoligami dengan Kalsum.
Adegan ini ditambahkan untuk menyampaikan bahwa berpoligami pada islam diperbolehkan hingga empat kali. Dengan syarat suami mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Namun, Samsudin di sini terbukti tidak berbuat adil. Justru dia tidak pernah menyentuh karena dia memuaskan hawa nafsunya pada kalsum tanpa henti.
Annisa menjadi sedih ketika dia dikatakan oleh Hj. Hanan bahwa Annisa tidak mampu untuk melayani suaminya. Annisa yang tidak tahu berbuat apa menjadi sangat terpuruk dan sedih. Karena dia terhimpit dalam keadaan sebenarnya yang tidak diketahui oleh keluarga kedua belah pihak
Adegan selanjutnya yang dibahasa di makalah ini adalah adegan Annisa meminta ijin kepada Samsudin untuk pulang ke Pesantren Al-Huda karena ada acara syukuran kedatangan Lek Khudori di sana. Di adegan ini Annisa yang terus berbicara meminta ijin tidak digubris oleh Samsudin yang sedang bermain dengan anaknya bersama Kalsum.
Annisa yang merasa tidak diperhatikan dan tidak dihiraukan pergi meninggalkan tempat karena malas dengan Samsudin yang terus bermain dengan anaknya. Ketika Annisa meninggalkan tempat, Samsudin baru memarahi Annisa. Karna, menurut Samsudin Annisa main pulang dan pergi saja. Tidak pernah meminta ijin. Padahal sebenarnya Annisa sudah menjelaskan panjang lebar dia mau pulang.
Adegan ini merupakan adegan tambahan juga dari sutradara. Namun, adegan ini sepertinya tidak ada pengaruhnya bagi cerita. Adegan ini tidak mempunyai titik emosi yang mampu meningkatkan emosi penonton. Jadi adegan Annisa meminta ijin kepada Samsudin ini sebaiknya tidak usah dibuat terlalu panjang.
Adegan Annisa dengan Samsudin meloncat ke pesantren dimana Samsudin memergoki Annisa sedang mencium tangan Lek Khudori.
Samsudin tidak terima Annisa bermain belakang dengannya. Maka, Samsudin mengikat Nisa dengan sorbannya. Lek Khudori dihajar oleh dua santri suruhan Samsudin.
Warga Pesantren Al-Huda, termasuk Abi Annisa, Umi dan lain-lain, yang mendengar adanya kericuhan langsung menuju ke tempat kejadian untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Samsudin yang telah tersulut emosi langsung bercerita bahwa istrinya, Annisa telah berzina dengan Lek Khudori. Samsudin juga menunjukkan kerudung yang dilepas sebagai bukti perzinaan Annisa dengan Lek Khudori. Seketika itu juga Samsudin menceraikan Annisa dan langsung menyuruh warga pesantren memberi hukuman dengan melemparkan batu-batu keras kepada Annisa dan Lek Khudori.
Kyai Harun, yaitu Abi Annisa, yang telah mempunyai penyakit jantung seketika itu juga meninggal karena terperanjat mendengar ucapan Samsudin dan melihat anaknya yang disiksa warga pesantren. Dia tidak menyangka jika masalah yang melibatkan Annisa menjadi selebar itu.
Adegan kerusuhan di pesantren itu sama sekali tidak berdasarkan novel. Melainkan,adegan-adegan itu merupakan adegan tambahan sutradara. Adegan ini sebenarnya mengganti penjelasan Samsudin bercerai dengan Annisa di novelnya. Jika di novel, konflik yang dimunculkan hanyalah biasa. Tidak ada tingkatan emosi yang naik. Samsudin bercerai dengan Annisa karena Annisa akhirnya menceritakan segala sikap buruk Samsudin yang sebenarnya dalam rumah tangga mereka.
Paparan penggalan cerita di atas sama sekali tidak mengubah emosi, mood pembaca menjadi menaik. Malahan terkesan biasa saja, datar. Untuk itu, sutradara merombak total penyebab perceraian Annisa dengan Samsudin semaksimal mungkin hingga mampu menimbulkan decak penonton ketika menonton film ‘Perempuan Berkalung Sorban’.

Ekranisasi Hubungan Annisa dengan Lek Khudori
Dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”, hubungan Annisa dengan Lek Khudori diceritakan sangat dekat. Mulai dari masa kecilnya hingga mereka menjalani rumah tangga. Namun, yang diherankan adalah Lek Khudori, seorang santri yang sangat memegang aturan agama melakukan hal-hal yang bukan mencerminkan dirinya. Seperti contoh ketika perpisahan mereka sebelum Lek Khudori remaja akan meninggalkan Annisa kecil ke Kairo untuk melenjutkan sekolahnya. ‘Kemudian ia (Lek Khudori) menggenggam tanganku (Annisa) dan menciumnya. Itulah kebiasaan yang sering dilakukan olehnya, mencium tanganku dengan sayang. Dan kini pun ia telah menggenggamnya untuk kemudian pelan-pelan diciumnya dengan amat sayang dan penuh perasaan.’.
Sedangkan, di filmnya perpisahan antara Lek Khudori dengan Annisa digambarkan dengan dramatis. Dengan latar pantai dan ombak yang bergemuruh sangat menggambarkan suasana hati Annisa yang sedih, tidak mau ditinggal dan Lek Khudori yang sebenarnya tidak mau berpisah. Adegan ini bertambah manis ketika Annisa mencoba untuk menggenggam tangan Lek Khudori sebelum kepergiannya ke Kairo.
Tulisan-tulisan tentang Lek Khudori yang memeluk Annisa, mencium pipi Annisa, dan sebagainya merupakan bentuk kasih sayangnya. Bentuk kasih sayang ini bukanlah bentuk kasih sayang yang pantas untuk remaja kecil. Karna, bentuk-bentuk itu merupakan bentuk kasih sayang orang dewasa. Maka, jika tulisan itu divisualisasikan tidaklah bagus untuk diperlihatkan. Bagaimana dengan di film? Di film, sutradara memvisualkan Lek Khudori remaja sebagai Lek yang sayang dan menghargai Annisa. Tidak pernah ada seadegan pun Lek memeluk ataupun mencium tangan Annisa. Hanya saja sutradara mengganti bentuk kasih sayang itu dengan adegan dimana Lek Khudori menjiwit hidung Annisa. Selayaknya remaja kecil yang sedang saling suka menyukai.
Walaupun Lek Khudori telah berangkat ke Kairo, Annisa dan Lek tetap saling mengirim surat. Dalam film, mereka saling mengirim surat hingga Annisa menginjak bangku SMA. Untuk mendukung bahwa ketika itu Annisa digambarkan telah berada di bangku SMA, sutradara menambahkan tulisan di pojok kiri bawah layar dengan tulisan ‘7 tahun kemudian’. Lek Khudori pun juga berubah menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan.
Namun di novel tidak dituliskan bahwa Annisa telah menginjak bangku SMA. Kejadian surat menyurat masih terjadi ketika Annisa menginjak di bangku SD. Seperti dituliskan di novel, ‘Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menerima rapor dari kelas lima tanpa satu angka pun yang berwarna merah. Bahkan, peringkat rangkingku paling atas dan itu semua berkat dorongan melalui surat-surat Lek Khudori yang menggemuruh penuh cita-cita.’. Mereka masih belum membicarakan hal yang serius karena Annisa masihlah kecil. Annisa masih duduk di kelas 5 SD waktu itu. Jadi isi surat menyurat mereka berisi tentang keceriaan anak kecil sewajarnya.
Dalam film, isi surat-surat itu tentang curahan hati Annisa yang masih belum habis pikir mengapa laki-laki derajatnya lebih tinggi daripada perempuan. Sedangkan, di novel tidak terlalu membahas tentang kesetaraan gender. Namun lebih mengangkat perkembangan hubungan asmara Annisa dengan Lek Khudori.
Wajarlah jika dalam film lebih membahas tentang masalah keserataan gender. Karena, pada dasarnya karya sastra “Perempuan Berkalung Sorban” mengangkat tentang emansipasi perempuan, feminisme perempuan. Sutradara lebih memfokuskan kepada temanya, sedangkan hubungan antara Annisa dan Lek Khudori sebagai bumbu penguat kehidupan Annisa dalam memperjuangkan aspirasinya.
Dari sinilah perbedaan mulai banyak terjadi. Ketika di novel, hubungan Annisa dengan Lek Khudori pada awalnya masih sering kasih kabar hingga Annisa berniat membelikan sebuah buku untuk Lek Khudori. Di film menjadi berbeda. Annisa dan Lek Khudori mulai jarang berkomunikasi. Mereka sudah tidak berkirim selama satu tahun lebih. Sengaja hubungan ini dibuat agak meruncing agar mampu menyambung cerita selanjutnya yang merupakan klimaks kehidupan Annisa nantinya.
Persamaan adegan terjadi ketika Annisa dan temannya, Aisyah pergi ke kantor pos untuk mengirim sesuatu. Jika di novel Annisa mengirimkan sebuah buku puisi karya Kharil Gibran kepada Lek Khudori, di film Annisa mengirim dua surat beasiswa, yaitu ke Kairo dan Yogyakarta. Kiriman yang di film memang dimaksudkan berbeda agar berkesinambungan pada adegan berikutnya, bahwa Annisa nantinya akan diterima di Universitas Islam Yogya.
Pembahasan langsung meloncat pada adegan dimana Annisa yang kondisinya tersiksa karena menikah dengan Samsudin, akhirnya bisa bertemu kembali dengan Lek Khudori. Namun, dalam film suasana yang diciptakan ketika mereka bertemu adalah suasana canggung. Lek Khudori yang sudah lama meninggalkan Annisa menjadi takut kepada Annisa karna Lek Khudori telah meninggalkannya ke Kairo. Annisa sendiri juga digambarkan ia tidak tahu mau berbuat apa.
Di novel dipaparkan bahwa pertemuan Annisa dengan Lek Khudori sangat ceria, tidak ada tangisan. Hal itu dijelaskan dengan kalimat-kalimat, “Aku nervous. Jika mungkin, akan kuteriakkan namanya (Lek Khudori) dengan speaker untuk membalas sapanya. Tetapi aku tahu diri dan menyembunyikan perasaan gembira yang meuap-luap di hadapan banyak orang. “. Dan yang dirasakan Annisa ketika bertemu Leknya adalah ketenangan hati yang selama ini ia cari sejak Lek Khudori pergi ke Kairo.
Di novel juga digambarkan bahwa Lek Khudori bertemu Nisa sangat gembira sekali. Tidak ada rasa canggung atau menghormati Nisa sebagai wanita yang dihormatinya. Namun Lek menyambut Annisa layaknya sebagai kekasih yang sudah lama berpisah. Hal ini dijelaskan melalui kalimat, “Dan ketika hanya berdua di ruang makan, kami berpelukan unuk yang kedua kali. Ia membanjiri ciuman di pipi dan mengecup keningku dengan tekanan khusus.”.
Sedangkan di film diterangkan bahwa Annisa tidak terima dengan kepergiannya Lek Khudori ke Kairo. Dia mempertanyakan mengapa Lek Khudori meninggalkannya. Lek Khudori dalam film ini sangat menghormati Annisa, terbukti dengan ucapan yang diujar olehnya, “Aku takut terhanyut dalam perasaanku yang gag pantas buat kamu Nis.”.
Jelas terlihat bahwa Lek Khudori adalah orang yang sangat menghargai dan menyayangi Annisa pada film ini. Tidak seperti yang ada dalam novel. Lek Khudori yang ada dalam novel terlihat sayang dan agresif dengan Annisa. Sikap Lek Khudori yang ada dalam novel bukanlah sikap yang cocok untuk menggambarkan lulusan santri Kairo. Maka dari itu, sutradara merubah sikap Lek Khudori ke dalam film menjadi lebih hormat dan menghargai wanita yang ia cintai agar citra tentang seorang santri tidak bermata buruk bagi penonton. Terutama bagi penonton yang santri pada sehari-harinya.
Pembahasan adegan melompat ke cerita setelah kepergian Kyai Harun. Annisa pergi ke Yogyakarta untuk menjalani kuliah yang tertunda di Universitas Islam Yogyakarta. Di Yogya, Annisa hanya ingin berkonsenttrasi kuliah saja. Dia ingin sejenak melupakan masalah yang baru saja dihadapinya di pesantren. Namun, tanpa sepengetahuan Annisa, temannya Aisyah telah memberitahu Lek Khudori bahwa Annisa sedang di Yogyakarta.
Nisa yang masih tidak ingin diganggu dengan terpaksa menyetujui ajakan Lek Khudori untuk berbicara sejenak. Dalam pembicaraan itu, Lek Khudori menyatakan perasaannya bahwa dia sayang dan ingin menikahi Annisa. Annisa yang masih menikmati kuliahnya belum siap untuk menerima pinangan Lek Khudori.
Lek Khudori yang sangat menginginkan Annisa terus berusaha untuk mengejar Annisa. Agar Annisa mau segera menerima lamarannya. Apapun yang Annisa butuhkan, pasti Lek Khudori penuhi. Seperti contoh, ketika Annisa membutuhkan pekerjaan, Lek Khudori mengirimkan berbelas-belas surat yang berisikan lowongan pekerjaan.
Hingga suatu hari, setelah tak henti-hentinya Lek Khudori mengirim segala surat dan buku kepada Annisa, ia mau menemui Lek Khudori. Di sini Annisa mempertegas kembali bahwa masih trauma untuk berkehidupan dengan Lek karena dia takut ditinggal kembali seperti dahulu. Kemudian, Lek berikrar atas nama Allah untuk meminta Annisa menikah dengannya. Annisa semakin dirundung bingung dan gelisah. Dia mencintai Lek Khudori, tapi dia belum tahu keputusan apa yang akan diambil.
Sebenarnya, salah satu yang mengganjal Annisa untuk menerima pinangan Lek Khudori adalah Abi Annisa yaitu Kyai Harun. Annisa belum berani menerimanya karna mengingat Abinya tidak menyetujui dengan Lek Khudori. Hingga pertanyaan yang menyelimuti Annisa selama ini terjawab sudah. Kyai Harun mendatangi Annisa dalam mimpi. Dia mengikhlaskan putrid semata wayangnya untuk menikah dengan siapapun. Dia boleh bebas memilih.
Dan akhirnya, Annisa menikah dengan Lek Khudori, lelaki yang diimpikannya selama ini.
Dalam segmen ini, dimulai dari hubungan Annisa dengan Lek Khudori sangatlah berbeda jauh dengan apa yang dituliskan dalam novel. Dalam novel, hubungan mereka berdua diibaratkan sebagai sepasang kekasih yang memadu asmara setiap hari. Tiada hari sedih bagi mereka.
Sedangkan, pada film jelas ditayangkan lika-liku perjalanan cinta Annisa dengan Lek Khudori. Mulai dari susahnya Lek Khudori untuk meminta Annisa menjadi istrinya hingga akhirnya Annisa mau melepaskan masa jandanya kepada Lek Khudori, lelaki yang dia dambakan sedari kecil.
Perubahan drastis yang dilakukan oleh sutradara Hanung Bramantyo sangatlah berani dan sangat pas untuk ditonton. Karena, jika mengikuti jalan cerita yang ada di novel, maka film akan terasa sangat membosankan. Tidak ada konflik yang naik terus menaik. Tidak ada emosi yang dimainkan jika film mengikuti jalan cerita novel “Perempuan Berkalung Sorban” yang terlalu biasa, datar.
Adegan berikutnya yang masih menjadi masalah bagi Annisa saat itu adalah adegan ketika akan melakukan hubungan suami isteri. Ketika Lek Khudori mencium punggung Annisa, tiba-tiba ia teringat oleh baying-bayang Samsudin yang mengerikan. Annisa masih trauma oleh perlakuan Samsudin. Annisa yang ketakutan dan teringat oleh peristiwanya bersama Samsudin langsung berlari ke dalam kamar dan menutup pintu. Tentu saja, Lek Khudori sebagai suami yang menyayanginya mencoba untuk menenangkan Annisa dan menuruti Annisa. Jika Annisa tidak mau, maka mereka tidak akan melakukannya.
Namun, seringkali Annisa menangisi dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri karna dia masih belum bisa melayani suami tercintanya dengan baik. Hal ini yang membuat Annisa sering menangis. Di novel, Annisa tidak sesendu yang seperti di film. Di novel, sejak Annisa menikah dengan Lek Khudori, kehidupan Annisa sangat bahagia. Walaupun ada kesedihan tertentu, tapi kesedihan itu tidak sampai mendalam. Namun, adegan yang telah ditayangkan di film mampu menarik emosi penonton untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh Annisa. Ini merupakan nilai lebih dari perubahan besar cerita yang ditulis di novel.
Namun, kesedihan itu tidaklah berlangsung lama. Annisa mampu menghilangkan rasa sedih itu ketika dia melihat seorang kliennya di kantor Bimbingan dan Konseling yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Khususnya kekerasan ketika akan melakukan hubungan suami istri. Dari sini Annisa dapat melihat bahwa jika seseorang mempunyai tekad yang besar, maka dia akan mampu melewati segala rintangan yang ada dan hingga nantinya tekad yang besar itu akan membuahkan hasil yang sangat manis. Dari masalah inilah akhirnya Annisa menyadari jika yang bisa melepas trauma itu adalah Annisa sendiri, tekad Annisa sendiri. Akhirnya, Annisa memberanikan diri untuk memulai hubungan itu bersama Lek Khudori.
Sebagai rumah tangga manusia biasa, maka terdapat pula konflik-konflik yang terjadi. Seperti kekhawatiran Annisa jika dirinya mandul atau tidak. Namun, anggapan bahwa Annisa mandul segera ditepis karna pada beberapa bulan kemudian Annisa mengandung seorang anak.
Dalam novel, 2 bab terakhir menceritakan tentang masa-masa kehamilan Annisa yang dia habiskan di Pondok Pesantren Al-Huda. Dua bab ini menghabiskan kertas yang berpuluh-puluh lembar untuk menceritakan Annisa pada masa hamilnya. Mulai dari apa tanda-tanda itu hamil hingga kecemburuan Annisa terhadap wanita lain yang dikenal Lek Khudori.pada dua bab ini merupakan bab yang tidak ada emosi sama sekali. Dua bab ini ditulis dan dijabarkan dengan sangat datar. Seperti tidak ada pesan tentang perjuangan seorang wanita terhadap perubahan hidup tertutup menjadi hidup terbuka atau bebas.
Dalam novel kisah Annisa dengan Lek Khudori dari awal di Yogyakarta hingga menjelang kematiannya sangatlah berbeda. Di novel cerita yang disajikan masih bisa dikategorikan sebagai cerita yang menarik untuk dibaca. Namun, jika dibandingkan dengan filmnya, maka cerita yang disajikan dalam filn lebih bagus. Karena kisah mereka dituliskan dengan sebuah perjalanan yang penuh rintangan dan penyelesaian yang sangat bagus untuk dijadikan renungan bagi pasangan sumami isteri.
Pada adegan kematian, cerita yang ditayangkan hampir sama seperti yang ada di novel. Lek Khudori meninggal dunia akibat korban tabrak lari. Jika di novel pelakunya dipastikan oleh Samsudin, karna sebagai rasa dendan kepada Lek Khudori. Jika di film, pelaku tabrak lari hanya diperlihatkan melalui spion mobil pelaku.
Inti dari pembahasan pada segmen ini adalah perbedaan sifat Lek Khudori yang mencolok antara di novel dan film. Lek Khudori yang berada di novel lebih cenderung tidak mencerminkan seorang santri karena perlakuannya terhadap Annisa. Mulai dari memeluknya dan menciumnya. Seharusnya jika benar-benar santri maka Lek Khudori tidak melakukan hal seperti itu. Dia lebih baik menghormati Annisa sebagai wanita yang dicintainya. Tidak menyentuhnya karena belum muhrimnya. Lek Khudori yang ditayangkan di film memenuhi karakteristik seorang santri yang telah disebutkan. Sutradara merubah citra Lek Khudori yang di novel agar tidak menjadi sebuah polemik yang mencolok.

Ekranisasi Tentang Annisa yang Lainnya
Dalam novel dengan jelas dituliskan bahwa Annisa ketika masa pertengahan Aliyah belum berjilbab karena dia masih belum siap. Seperti dalam paparan berikut ini, “Sekalipun aku masih anak-anak, baru menjelang baligh dan belum memiliki keharusan mengenakan jlibab, Bapak menyuruhku untuk mengenakannya kecuali waktu sekolah.”.
Sedangkan dalam film Annisa digambarkan telah memakai jilbab sejak ia kecil. Ini dikarenakan bahwa pesantren-pesantren yang berada di Indonesia dikenal oleh khayalak umum sebagai salah satu sekolah khusus Islam yang benar-benar kehidupan islami. Memegang teguh dalil, wahyu, adat istiadat Islam, dan sebagainya. Untuk masalah aurat, dalam kehidupan pesantren di Indonesia aurat perempuan harus dibalut oleh kain sejak ia lahir. Hal itu sudah merupakan tradisi bagi seseorang atau kelompok yang sangat memegang Islam.
Pembahasan berikutnya melompat ke adegan ketika Annisa (film) yang waktu itu telah mengalami tekanan dari peristiwa yang merenggut nyawa Ayahnya. Setelah peristiwa di pesantren, Annisa memutuskan untuk melupakan semua masalah yang ada dengan berangkat kuliah ke Yogyakarta. Di sana, dia menemui teman lamanya, Aisyah, yang sudah berubah menjadi warga kota. Aisyah yang dulu anak pesantren kini mengikuti perubahan adat dan budaya yang semakin modern. Aisyah yang dulu tidak mengerti apa itu bebas, kini telah mengerti bebas. Bebas bagi dirinya adalah dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Mendengar ini, Annisa menjadi sedikit kecewa pada temannya itu.
Sedangkan, dalam novel Aisyah sudah tidak disinggung lagi ketika Annisa berada di Yogyakarta. Bahkan adegan-adegan Annisa yang membuat cerpen tentang apa itu bebas, sibuknya Annisa untuk belajar, dan lain-lain sama sekali tidak disinggung dalam novel. Sutradara Hanung Bramantyo sekali lagi perlu dikasih acungan jempol atas keberhasilannya membuat novel ini menjadi lebih hidup. Sang sutradara mampu membuat adegan-adegan yang menginspirasi bagi orang lain.
Dalam versi novelnya, cerita “Perempuan Berkalung Sorban” tidak dihidupkan secara keseluruhan sehingga membuat pembaca terkadang bosan untuk membaca. Sehingga sepertinya pesan yang ingin disampaikan kurang tersampaikan dengan baik. Bahkan, novel ini terkesan terbagi dua gagasan yang disampaikan. Antara aspirasi Annisa yang ingin didengar dan kisah cintanya bersama Lek Khudori.
Dalam film, ditampilkan adegan-adegan dimana Annisa giat berlatih, belajar, dan tidak pernah putus asa dalam menggapai apa yang diinginkannya.
Adegan di film yang menceritakan bahwa Annisa membimbing satu klien kekerasan dalam rumah tangga, khusunya kekerasan sebelum melakukan hubungan suami isteri merupakan perlambangan dari penggalan cerita di novel yang membahas tentang Basuni, lelaki yang haus akan nafsu lawan jenis. Perbedaannya terletak pada penyampaian cerita. Jika di novel Basuni diketahui dari teman kantor Annisa, di film kasus kekerasan ini diketahui oleh korbannya sendiri.
Sebelum menjelaskan ke adegan-adegan selanjutnya, terlebih dahulu perlu diberitahukan bahwa adegan-adegan di bawah ini sama sekali tidak muncul dalam novel. Ending novel berakhir sampai meninggalnya Lek Khudori yang tidak tahu mengapa ditegaskan bahwa Annisa sudah menjadi wanita yang lebih kuat. Aspirasinya sendiri tidak disinggung sama sekali.
Pembahasan adegan meloncat ke Annisa yang telah mengandung seorang anak. Ketika kondisi mengandung, Annisa bersama suami pulang ke Pondok Pesantren Al-Huda. Di sini, Annisa menemukan empat gadis yang memiliki aspirasi sama dengan Annisa. Ingin membebaskan peraturan-peraturan tidak wajar yang mengekang wanita.
Melihat semangat dari 4 santriwati ini, Annisa mulai mengajak mereka untuk mengenal dunia sastra. Mulai dari membaca hingga menulis sebuah karya. Walaupun Annisa sedang hamil besar, namun dia sangat bersemangat untuk membantu mereka.
Perjuangan Annisa yang begitu berat walaupun tanpa suaminya akhirnya membuahkan hasil yang sepadan. Kakaknya, Rizal akhirnya mengikhlaskan, memperbolehkan Annisa untuk membangun sebuah perpustakaan.
Film “Perempuan Berkalung Sorban” ditutup dengan adegan dimana Annisa dengan anaknya menunggang kuda dan kemudian melepaskan sorbannya yang berarti bahwa Annisa mampu dan sudah bebas dari hal-hal tertutup yang kurang wajar.

Alur
Alur yang berada di novel dan film berbeda. Jika di novel, alur yang digunakan maju runtut. Namun pada film alur yang digunakan flashback atau mundur. Alur flashback ini ditandai dengan adegan yang yang pertama kali muncul, yaitu adegan dimana Annisa dewasa sedang menunggang kudanya dan memakai sorban.
Kemudian terdengar suara Ibunya memanggil-manggil Annisa.
Lalu Annisa menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara itu.
Padahal, sumber suara itu sebenarnya adalah suara Ibunya yang memanggil Annisa pada masa kecil. Alur mundur ini dikuatkan dengan adanya tulisan waktu kejadian di pojok kanan bawah adegan, yaitu’10 tahun sebelumnya’.
Hal-hal itulah yang membuktikan bahwa alur cerita dari film ini adalah flashback atau mundur.

Simpulan
Setelah membanding-bandingkan antara novel dan film, dapat diambil kesimpulan bahwa film Perempuan Berkalung Sorban lebih bagus dibandingkan dengan novelnya. Karena dalam novelnya, gagasan tentang hak perempuan kurang diangkat sepenuhnya. Hak perempuan dan sebagainya diangkat pada bab 1 hingga bab 5. Itupun tidak seutuhnya. Karena bab-bab ini dicampur dengan bumbu percintaan Annisa dengan Lek Khudori yang kurang mencerminkan kehidupan pesantren.
Sedangkan pada film, sang sutradara Hanung Bramantyo mampu menangkat apa pokok masalah sebenarnya yang diangkat dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini. Hanung juga berani mengambil resiko untuk mengubah hampir sebagian besar adegan-adegan cerita yang terdapat dalam novel tanpa mengubah pesan yang akan disampaikan.
Maka, tidak hanya peran dari buku, namun peran sutradara di sebuah film sangat berpengaruh untuk membuat film menjadi menarik. Sutradara yang mengerti dan mampu mengangkat, menghilangkan bagian-bagian yang penting atau tidak penting. Dengan begini, ekranisasi novel Perempuan Berkalung Sorban berhasil karena adanya sutradara yang handal.

2 komentar: